Deding Sudarso Mei Maemunah Jannathan Syahru Sudarso Hajjan Jeanuarda Sudarso

Minggu, 25 Oktober 2009

Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Tradisional Dan Moderenisme

A. Pendahuluan
Usaha mengembangkan peradaban di kalangan umat Islam masa lalu, diawali dari usaha-usaha perluasan daerah kekuasaan (futuhat) yang berarti membuka daerah untuk dimasuki kekuasaan Islam. Walaupun demikian ekspansi berpengaruh terhadap pengenalan Islam dalam wilayah yang telah diduduki tersebut. Ekspansi wilayah, dalam hal ini peperangan merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Ini menunjukan bahwa sejarah umat Islam adalah sejarah politik. Hal ini logis karena prinsip kehidupan masa itu adalah mengemban amanah suci yang menyebarkan kebenaran atau “al-quwat fawq al-haq” (Khaerul Wahidin : 2004, ix).
Sejarah perkembangan pemikiran yang merupakan cikal bakal munculnya peradaban mengalami pasang surut mengikuti dinamikan perkembangan sejarah umat Islam. Pendidikan yang diartikan sebagai suatu yang mampu merubah kondisi yang lebih baik mengalami perkembangan dan perubahan baik dari segi tujuan, metode, system serta alat untuk mengukur keberhasilan dari proses pendidikan tersebut. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan haruslah diruntut menurut “historis” pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir, penggagas, penggerak dan pelaku pendidikan dari masa ke masa. Karena keterbatasan penulis mengenai hal ini, terutama mengenai literature maka pembahasan dalam makalah ini tidaklah berkutat pada masalah runtutan “kesejarahan” secara periodik dari tahun ke tahun tetapi lebih menekankan sisi-sisi perkembangan pemikiran yang pernah terlintas dalam sejarah intelektual terutama bidang pendidikan, khususnya perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan lebih khusus lagi dalam perkembangan pemikiran pendidikan Islam tradisional baik tradisonal maupun modern.

B. Pengertian pendidikan
Menurut Kamus Poerwodarminto (1984:123), kata pendidikan merupakan bentukan kata dasar “didik”. Kata didik menjadi kata kerja mendidik memiliki arti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya bila kata didik diberi awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi kata pendidikan yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantoro (1997:14 ) mengulas pengertian pendidikan dalam bab tersendiri. Beliau mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan bathin, karakter), fikiran (intelek), dan tubuh anak “. Hasan Langgulung (Ramayulis, 2006:56 ) meninjau segi kebahasaan bahwa pendidikan berasal dari bahasa Inggris terambil dari kata “education” yang akar katanya berasal dari bahasa Latin “educare” yang berarti memasukan sesuatu. Maksudnya adalah memasukan ilmu melalui kepala sesorang.
Dalam tinjauan khasanah keilmuan Islam, pendidikan berasal dari beberapa kata bahasa Arab diantaranya “tarbiyah” dengan kata kerja “robba”.Istilah lain adalah “ta’lim dan “addaba”. Kata-kata tersebut mengandung implikasi kepada pengertian yang berbeda. Istilah “ta’lim dengan kata kerja “allama” mengandung pengertian kadar memberi tahu atau memberi pengetahuan. Berbeda dengan kata “robba” dan “addaba” yang mengandung makna pembinaan, pimpinan, pemeliharaan dan sebagainya (Zakiah Daradjat, 1996:28-29). Ta’lim menurut Al-Attas yang dikutip oleh Hasan Langgulung (1988:5) mempunyai makna hanya terpaku pada pengajaran agar mereka mengetahui, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan “tarbiyah” terlalu luas sebab kata ini penggunaannya tidak saja untuk manusia juga digunkan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara, membela, beternak dan sebagainya. Dengan demikian istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih tepat dengan istilah ‘at-tarbiyah”, ta’lim dan al-riyadloh” Pendidikan biasanya diterjemahkan dengan usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap peserta didik untuk mengarahkan dan membimbing dan memberikan pengajaran dan didikan serta latihan agar peserta didik berkembang lahir dan batin, jasmani dan rohani menjadi dewasa dalam aspek pengetahuan, hukum, moral, mental, intelektual dan keterampilan serta menjadi dewasa dalam berbagai aspek kehidupannya.
Undang-undang No. 2 Th 1989 tentang sistim pendidikan Nasional disebutkan, bahwa: Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan manusia Indonesia, yaitu beriman dan betaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Penulis dapat simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani, atau dengan kata lain pendidikan berarti bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa untuk mengarahkan sesuai dangan fitrahnya agar berkembang secara maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan pengertian Pendidikan Islam diuraikan oleh Abd. Rachman Shaleh (1976:13) menyebutkan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai pendidikan dapat memahami dan mengamalkan ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life ( alan kehidupan). Hal ini menunjukan bahawa pendidikan Islam adalah proses informasi ilmu pengetahuan dan sikap pada peserta didik, yang mempunyai semangat tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya sehingga terwujud ketaqwaan, budi pekerti yang luhur. Artinya pendidikan Islam itu sebagai usaha yang dilakukan secara sistematis dalam pembentukan siswa supaya hidupnya sesuai dengan tujuan hidup ajaran Islam.

C. Corak Pemikiran dalam pendidikan Islam
Untuk mengklasifikasikan pemikiran tradisional dengan yang tidak cukup sulit, sebab dalam pendidikan ada istilah “reconstruktion end canges”, Artinya yang tradisi akan selalu diakses sebagai tipe awal, kemudian dtambahi dengan modifikasi-modifikasi baru. Sehingga dalam dunia pesantren ada istilah ”Menjaga/mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru, yang lebih baik”. Ideologi pendidikan dalam tinjauan Giroux dan Aronowitz (Oky Syaeful R. Harahap, 2007) menyebutkan ada tiga aliran besar, pertama aliran konservatif, kedua aliran liberal dasn ketiga aliran kritis. Aliran konservatif berpendapat bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan tatanan dan perubahan sosial. Pendidikan adalah an sih pendidikan.
Adapun fenomena kebodohon, kemiskinan, tertindas adalah kesalahan mereka sendiri. Aliran liberal (kebebasan individu, pengembangan kemampuan, perlindungan hak) hampir sama dengan aliran konservatif dalam tinjauan sosial politik bahwa masalah kemasyarakatan dengan masalah sekolah dua hal yang berbeda. Berbeda dengan dua aliran sebelumnya aliran kritis memandang bahwa tujuan pendidikan tidak bisa tidak adalah transformasi sosial. Saat ini dunia pendidikan terkontaminasi oleh idiologi dominan negara, dunia pendidikan dianggap melanggengkan diskriminatif dan berpihak pada status quo. Ada juga yang berpendapat bahwa gerak laju pemikiran Islam ditandai dengan istilah aliran tradisional, fundamentalis, modern dan neomodern. Perkembangan neomodernis yang diusung oleh Fazlur Rahman (1982:155-175), lebih menekankan kepada semangat ijtihad yang terus menerus dalam konteks berusaha menemukan pesan-pesan al-Qur’an. Ciri-ciri neo-modernism Rahman sebagai pencetus awal dari aliran ini adalah:
1. Penafisiran Al-Quran secara sistematik dan komfrehensif,
2. Penggunaan metode hermeneutika yang digunakan untuk memahmi teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum, falsafah,
3. Pembedaan secara jelas antara Islam Normatif dan Islam Historis,
4. Penggabungan paradigma tradisionalis dan modernisme.
Sedangkan kaum tradisionalis lebih memfokuskan diri dalam pengembagan keilmuan Islam dengan memakai metode “kesejarahan masa lalu” yang bertumpu pada semangat penyebaran Islam.

D. Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Machmud, 1979:3). Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk: (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 164-165).
Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar
anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 165).
Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar (Dimyati Machmud, 1979:3). Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.
Shipman (1972:33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan" (Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, 1996: 3).



E. Pendidikan Islami yang Bagaimana?
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991:45). Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991:150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985:15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan (A.Malik Fajar, 1995:5).
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.
Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang
mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M. Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999:12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998:5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

E. Kesimpilan
Metode berfikir masyarakat tradisionalis memandang bahwa pendidkian sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu proses belajar mengajar dalam menacari ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta” atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”.
Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistik bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.










DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.

----------------------------- Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.

A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN. Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.

Anwar Jasin, Keranka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, 1985.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996.

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta : Logos. 1998.

Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga. Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 199.

Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago. Chicagi, 1982. Terjemah. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.
Hasan Langgulung. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1988.

------------------------ Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992.

------------------------ Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan). Jakarta: Pustaka Al Husna. 1995.

Khaerul Wahidin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cirebon 2004.

Ki Hajar Dewantoro. Pendidikan, Bagian Pertama, cet 2, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1977.

Poerwadarminto. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan P&D. 1984.

Suroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000. dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor: Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.

M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan. Yogyakarta, BPFE, 1990.

M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern. Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.

M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Editor, Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.

Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis. Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, 1999.

Zakiah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara. 1996.






PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM ANTARA TRADISIONALISME DAN MODERNISME


MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Tugas Terstruktur
pada Mata Kuliah Sejarah Intlektual Pendidikan Islam

Dosen : Prof. Dr. H. Khaerul Wahidin, M.Ag










Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505910045



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar