Deding Sudarso Mei Maemunah Jannathan Syahru Sudarso Hajjan Jeanuarda Sudarso

Sabtu, 31 Oktober 2009

Sejarah Pemikiran Khawarij: Dari Politik Ke Teologi

ABSTRAKSI
fokus pembahasan makalah ini tentang aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Penulis meneliti latar belakang yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam. Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya, mereka sangat tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.
Sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan mendeskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan menekankan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner.
Kata kunci: doktrin, teologi, pemikiran Islam, khawarij

Sejarah Pemikiran Khawarij: Dari Politik Ke Teologi
A. Pendahuluan
Tragedi kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satunya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman.
Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi dua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)
Makalah ini tidak akan membahas kedua aliran ekstrem tersebut, tapi menfokuskan pembahasan pada aliran Khawarij, yang tercatat dalam sejarah memiliki pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem. Pertanyaan yang ingin penulis teliti jawabannya adalah latar belakang apa yang menyebabkan Khawarij tidak saja mempunyai pandangan-pandangan politik dan teologi yang ekstrem tapi juga berperilaku keras bahkan cenderung kejam? Mereka, kata Abu Zahra, suka menyabung nyawa dalam bahaya meskipun tidak ada pendorong untuk berbuat itu. Ironisnya mereka sangat kejam dan sama sekali tidak toleran dengan perbedaan pendapat sesama Muslim, tapi sangat toleran dengan Ahlul Kitab.
Tapi sebelum menganalisis masalah di atas penulis akan deskripsikan terlebih dahulu asal usul dan perkembangan Khawarij, dengan tekanan pada asal usul, untuk dapat melihat secara jelas bagaimana persoalan politk diberi legitimasi teologi di samping alasan teknis terbatasnya halaman untuk berbicara panjang lebar tentang perkembangan Khawarij masa-masa selanjutnya. Sedangkan mengenai doktrin pemikiran politik dan teologi Khawarij itu sendiri tidak penulis bicarakan secara khusus, tetapi hanya beberapa doktrin diungkapkan dalam perjalanan bahasan kesejarahan tentang perkembangan pemikiran itu sendiri. Sikap itu diambil karena makalah ini memakai pendekatan historis, bukan doktriner.
B. Asal-usul dan Perkembangan Khawarij
Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.
Sebelum peperangan meletus, Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.
Berbeda dengan Mu’awiyah yang secara pribadi punya alasan untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman, penduduk Syria yang mendukungnya memerangi ‘Ali tidaklah dapat dikatakan juga punya motivasi yang sama. Kalau memang mereka siap mati membela darah ‘Utsman, hal itu tentu telah mereka lakukan sejak awal-awal begitu ‘Utsman dibunuh. Tetapi setelah ‘Ali mencapai kemenangan dalam perang Jamal, penduduk Syria melibatkan diri dalam menentang ‘Ali karena mereka menghawatirkan campur tangan ‘Ali dalam urusan dalam negeri mereka sediri di Syria. Demi untuk melemahkan kedudukan ‘Ali penduduk Syria menjadikan pembelaan terhadap ‘Utsman sebagai lambang perjuangan menentang Ali.
Sekali lagi sebelum peperangan benar-benar meletus ‘Ali mengirim kembali juru runding yang terdiri dari Syabats ibn ‘Aibi al-Yarbu’i at-Tamimi, ‘Ali ibn Hatim at-Tha’i, Yazid ibn Qais al-Arhabi, dan Ziyad ibn Khasafah at-Taimi at-Tamimi, untuk merunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan inipun juga berakhir dengan kegagalan.
Makalah ini tidak akan menguraikan tentang perang Shiffien secara rinci, yang penting diungkap di sini dalam kaitannya dengan kelahiran aliran Khawarij adalah ide ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Dengan demikian mereka pecah. Jika sekiranya mereka sepakat toh juga tidak ada ruginya bagi Mu’awiyah karena paling kurang sampai waktu tertentu peperangan dapat berhenti.
Benar saja, segera saja sebagian pengikut ‘Ali menyerukan untuk menerima tawaran Mu’awiyah. ‘Ali sendiri menolaknya, karena menurut dia itu hanyalah bagian dari taktik perang Mu’awiyah. ‘Ali megatakan; “’Ibâdallah, teruslah berada dalam kebenaran dan keyakinan kalian. Teruslah memerangi musuh, karena Mu’awiyah, ‘Amru, Ibn Abi Mu’ith, Habib, Ibn Abi Sarah dan Dhahhak bukanlah Asshâb ad-dîn dan bukan pula Ashhâb Al-Qur’an. Saya lebih mengenal mereka dibandingkan kalian. Saya telah bergaul dengan mereka sejak kecil sampai dewasa, mereka adalah anak-anak dan laki-laki dewasa yang jelek. Mereka minta bertahkim kapada kitab Allah, pada hal, demi Allah, mereka mengangkat mushhaf itu hanyalah untuk tipu muslihat belaka.” Mendengar seruan ‘Ali mereka menjawab: “Mereka mengajak kita kembali kepada Kitabullah, kenapa kita tidak menerimanya?” ‘Ali kembali menjawab: “Saya memerangi mereka supaya mereka tunduk kepada hukum kitab Allah; karena mereka telah menentang perintah Allah dan melupakan janji mereka dengan Allah, serta mengabaikan kitab suci itu.” Kemudian Mis’ar ibn Fadki at-Tamimi, Zaid ibn Hushain ath-Thai dan beberapa tokoh lain dari kelompok Al-Qura’– salah satu unsur koalisi pasukan ‘Ali–mendesak, bahkan mengancam akan memperlakukan ‘Ali seperti apa yang telah mereka lakukan terhadap ‘Utsman.
Setelah ‘Ali terpaksa mengikuti kehendak mereka, Al-Asy’asts ibn Qais menawarkan diri untuk menemui Mu’awiyah dan menanyakan apa yang diinginkannya dengan mengangkat mushhaf seperti itu. ‘Ali menyetujuinya. Mu’awiyah mengatakan: “Mari kita kembali kepada apa yang diperintahkan Allah di dalam Al-Qur’an. Kalian utuslah seseorang yang kalian sukai dan kami pun akan mengutus seseorang yang kami sukai. Biarkan mereka berdua berunding berdasarkan Kitabullah, kemudian kita ikuti apa yang mereka sepakati”. Dengan segera usulan Mu’awiyah itu disetujui sepenuhnya oleh pasukannya sendiri dan mereka sepakat mengutus ‘Amru ibn ‘Ash sebagai juru runding. Sementara dari pihak ‘Ali sekali lagi kelompok yang tadi memaksa ‘Ali menerima perundingan memaksakan kehendak mereka kepada ‘Ali. Mereka menunjuk Abu Musa al-Ays’ari, sementara ‘Ali menginginkan ‘Abdullah ibn ‘Abbas atau Malik al-Asytar. Sekali lagi ‘Ali terpaksa mengalah kepada keinginan mereka.
Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan ’Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan ‘Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya ‘Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena ‘Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun ‘Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria.
Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tidak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hanya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.
Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati. Harun Nasution yang terkenal berpikiri kritis juga meyakini kelicikan bahkan kecurangan ‘Amru tersebut. Tulisnya : “…Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, ‘Amru ibn ‘Ash mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah diumumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah”.
Dalam hal ini penulis sepakat dengan Hasan Ibrahim Hasan yang meragukan kebenaran kisah tersebut. Menurut dia, mengutip Al-Mas’udi, kedua juru runding tersebut tidak pernah berpidato menyampaikan hasil perundingan mereka. Mereka memang sepakat mencopot ‘Ali dan Mu’awiyah dan menyerahkan kepada permusyawaratan kaum Muslimin untuk memilih Khalifah baru. Bahkan Hasan menyetakan para sejarawan telah menzalimi Abu Musa dengan menuduh kalah cerdik dari ‘Amru. Kemungkinan besar pelecehan terhadap kemampuan diplomasi Abu Musa itu, menurut Hasan, karena pendapat Abu Musa dalam perundingan itu tidak sejalan dengan pendapat ‘Ali dan Bani Hasyim walaupun sejalan dengan pendapat sebagian besar kaum Muslimin waktu itu.
Kenapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena ‘Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang’Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar.
Sekarang kita kembali pada kelompok Qurrâ’. Setelah perundingan selesai mereka berbalik menentang Tahkîm, padahal tadinya mereka juga mendesak ‘Ali menerima Tahkîm. Sekarang mereka kemukakan alasan-alasan yang bersifat teologis, untuk mendukung pandangan dan sikap polotik mereka. Menurut mereka, Tahkîm salah karena hukum Allah tentang pertikaian mereka sudah jelas. Mereka yakin kubu ‘Ali lah (dalam konflik dengan kubu Mu’awiyah) yang berada di pihak yang benar. Kubu ‘Ali yang beriman. Tahkîm berarti meragukan kebenaran masing-masing pihak. Hal itu bertentangan dengan Al-Qur’an. Mereka teriakkan Lâ hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan megakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali mungkir janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman.
Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Harûriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih Abdullah ibn Wahab ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khâriji (yang keluar).
Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka. Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels.
Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut :
“Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”.
‘Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.
Karena keterbatasan halaman makalah ini tidak akan medeskripsikan lebih jauh perkembangan Khawarij sampai masa-masa selanjutnya. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa dalam perkembangan selanjutnya Khawarij terpecah menjadi beberapa kelompok, karena, seperti sudah diungkap di atas, sudah menjadi dustûr mereka kalau berbeda pendapat segera memisahkan diri membentuk kelompok sendiri. Para sejarawan berbeda pendapat tentang jumlah kelompok-kelompok pecahan Khawarij, tapi mereka sepakat jumlahnya tidak kurang dari dua puluh kelompok, sebagian ushûl dan yang lain furû’. Yang termasuk ushûl menurut Abu Hasan Al-Asy’ary adalah : Al-Azariqah, al-Ibadiyah, an-Najdiyah dan ash-Shufriyah. Sementara menurut Syahrastani yang masuk ushûl adalah al-Muhakkimah al-Ula, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-‘Ajaridah, ats-Tsa’Alibah, al-Ibadhiyah dan ash-Shufriyah. Yang termasuk furû’ banyak sekali, tidak relevan kita sebutkan semuanya dalam makalah ini, di antaranya adalah al-‘Athawiyah, al-Fadikiyah dan al-‘Ajaridah.
C. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang megatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka. Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
D.Penutup
Dari uraian di atas penulis dapat megambil kesimpulan bahwa pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar dan berani sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu. Sebutan Qurrâ’ bagi mereka sebelum dikenal dengan nama Khawarij tidaklah menunjukkan arti para penghafal Al-Quran, tapi menunjukkan arti mereka sebagai orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan.




KEPUSTAKAAN
Abu Zahrah, M. 1991. Sejarah Aliran-aliran dalam Islam Bidang Politik dan Aqidah, terjemah Shobahussurur, Gontor : PSIA, cet.I.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: Jakarta, UI Press, cet.V.
Shaban, M.A. 1993. Sejarah Islam (Penafsiran Baru) 600-750, terjemahan Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Pers.
Shiddiqi, Nouruzzaman. 1985. Syi’ah dan Khawarij dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta, PLP2M, cet, I.
Yahya, Mahayudi Haji. 1986. Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11- 78 H/632 – 698 M). Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, cet. II.

Oleh:
Fakhrurozi
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Pascasarjana STAIN Cirebon
2009

Senin, 26 Oktober 2009

Urgensi, Asal-usul dan pertumbuhannya Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Kata yang pertama, religion, yang biasa dialih-bahasakan menjadi “agama”, pada mulanya lebih berkonotasi sebagai kata kerja, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, religion bergeser menjadi semacam “kata benda”, ia menjadi himpunan doktrin, ajaran, serta hokum-hukum yang telah baku yang diyakini sebagai kodifikasi perintah Tuhan untuk manusia. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematis nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam kitab suci dan literatur keberagamaan karya para ulama. Dalam Islam, umpamanya, telah terbentuk ilmu-ilmu keagamaan yang dianggap baku seperti ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang akhirnya masing-masing berkembang dan menjauhkan diri antara yang satu dengan lainnya.
Sedangkan religiositas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang tepat bukan religiositas, tetapi spiritualitas. Spiritualitas lebih menekankan substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung memalingkan diri dari formalism keagamaan. Biasanya, orang yang merespon agama dengan menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur keagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh berbagai bentuk formalisasi agama yang berlebihan, karena hal itu, dinilai akan menghalangi berkembangnya nilai-nilai moral dan spiritual keagamaan . Oleh karena itu, kita perlu mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada tataran ekoterik, melainkan juga pada tataran esoteris.
Kebenaran dapat diperoleh dari dua sisi, yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran sosiologis. Secara filosofis, kebenaran yang sebenarnya adalah satu, tunggal dan tidak majemuk, yang sesuai dengan realitas. Tetapi, pencapai kebenaran pada setiap orang berbeda. Dalam konteks agama, semua agama; yahudi, Kristen, Islam, Budha, Hindu termasuk aliran kepercayaan semuanya ingin mencapai realitas tertinggi (the ultimate reality).
Sedangkan kebenaran sosiologis, ialah sebagai proses pencapaian dan penerjemahan realita tertinggi membuat klien tentang kebenaran menjadi berbeda, begitu juga Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan Aliran Kepercayaan menyatakan demikian. Padahal, perbedaan yang terjadi secara hakikat bukan terletak pada realitas tertinggi. Di sinilah mulai timbul kompliks kebenaran, baik ekstra agama maupun intra agama.
Kompliks keagamaan yang terjadi di Indonesia saat ini, bukan lagi kompliks antar agama melainkan yang sangat menyedih adalah kompliks komunitas sesama agama, realitas tersebut terlihat beberapa tahun belakangan ini. Adanya teror bom yang mengatas namakan diri kelompok Islam dan membunuh sesame kelompok Islam sendiri, sungguh ironis fenomena tersebut.
Dengan demikian, dari uraian di atas, setidaknya dapat menghantarkan tentang penjelasan urgensi studi Islam dalam konteks pemahaman dan penghayatan keagamaan Islam di Indonesia, asal usul dan pertumbuhan studi Islam di dunia Islam. Tentunya ketiga pokok bahasan ini akan menghantarkan kita dapat mengetahui dengan memberikan pemahaman tentang studi Islam.














BAB II
PEMBAHASAN

A. Urgensinya (penting) Studi Islam
Dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya, berarti agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat . Oleh karena itu, secara umum studi Islam menjadi penting karena agama termsuk Islam memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat.
Menurut Harun Nasution dalam simposium menyatakan bahwa persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari sisi etika dan moralitasnya kurang mendapat tempat memadai. Lebih lanjut, situasi keberagamaan di Indonesia cenderung menampilkan kondisi keberagamaan yang legalistic dan formalistic. Agama “harus” di manifestasikan dalam bentuk ritual-formal, sehingga muncul formalism keagamaan yang lebih mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai perangkat paradigm moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Di samping itu, formalism gejala keagamaan yang cenderung individualistic daripada kesalehan sosial mengakibatan munculnya sikap kontra produktif seperti nepotisme, kolusi dan korupsi .
Harun Nasution berpandangan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi cegahan-Nya. Dengan demikian, orang yang bertaqwa adalah orang yang dekat dengan Tuhan; dan dekat dengan yang Maha suci adalah “suci” orang-orang sucilah yang mempunyai moral yang tinggi .
Gambaran yang dikemukakan oleh Harun Nasution di atas mendapat sambutan cukup serius dari Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa kesalahan kita sebagai umat Islam di Indonesia adalah mengabaikan agama sebagai sistem nilai etika dan moral yang relevan abgi kehidupan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan berakal busdi. Karena itulah kita tersentak ketika temuan memperlihatkan kepada dunia sesuatu yang sangat ironi; Negara Indonesia yang penduduknya 100% beragama, mayoritas beragama Islam (sekitar 80%), dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar agama, ternyata menduduki peringkat termuka di antara Negara-negara yang paling korup di dunia.
Dari gambaran umat Islam Indonesia di atas, kita dapat mengetahui bahwa agama Islam di Indonesia belum sepenuhnya dipahami dan dihayati oleh umat Islam. Oleh karena itu, signifikansi studi Islam di Indonesia adalah mengubah pemahaman da penghayatan keislaman masyarakat Muslim Indonesia secara khusus, dan masyarakat beragama pada umumnya. Adapun perubahan yang diharapkan adalah format formalism keagamaan Islam diubah menjadi format agama yang substantif. Sikap enklusivisme, kita ubah menjadi sikap universalisme, yakni agama yang tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan karena pada dasarnya agama diwahyukan untuk manusia. Di samping itu, studi islam diharapkan dapat melahirkan suatu komunitas yang mampu melakukan perbaikan secara intern dan ekstern. Secara intern komunitas itu diharapkan mempertemukan dan dapat mencari jalan keluar dari konflik intra agama-Islam; tampaknya, komplik internal umat Islam yang didasari dengan organisasi formal keagamaan belum sepenuhnya final. Di samping itu, akhir-akhir ini kita dihadapkan pada krisis nasional salah satunya krisis kerukunan umat beragama; pengrusakan dan pembakaran rumah ibadah Kristen dan bahkan tempat ibadah masjid yang dimiliki komunitas Ahmadiyah di Bogor, Bandung, Kuningan dan Cirebon . Studi Islam diharapkan melahirkan suatu masyarakat yang hidup toleran (tasamuh) dalam wacana pluralitas agama, sehingga tidak melahirkan Muslim ekstrim yang membalas kekerasan agama dengan kekerasan pula; pengrusakan dan pembakaran masjid dan tempat ibadah lainnya tidak perlu tampak kembali dalam bingkai pluralitas. Oleh karena itu, dalam situasi hidup keberagamaan di Indonesia, studi agama terutama Islam, karena merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk sangat penting diimplementasikan secara damai (peace).
B. Asal Usul dan Pertumbuhan Studi Islam
Pendidikan Islam pada zaman awal dilaksanakan di masjid-masjid. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah dan Madinah (hijaz), Basrah dan Kufah (Irak), Damaskus dan Palestina (Syam) dan Fistat (Mesir). Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud; madrasah Damaskus (Syiria) dipelopori oleh Ubadah dan Abu Darda; sedangkan madrasah Fistat (Mesir) dipelopori Abdullah bin Amr bin Ash .
Pada zaman kejayaan Islam, studi Islam dipusatkan di ibu kota Negara Irak yaitu Bagdad. Di istana Dinasti Bani Abbas pada zaman al-Ma’mun (813-833), putra Harun al-Rasyid di dirikan Bait al-Hikmah, yang dipelopori oleh Khalifah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan wajah ganda; sebagai perpustakaan serta sebagai lembaga pendidikan (sekolah) dan penerjemahan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa arab untuk melakukan akselerasi pengembangan ilmu pengetahuan .
D samping itu di Eropa, terdapat pusat kebudayaan yang merupakan tandingan Bagdad, yaitu Universitas Cordova yang didirikan oleh abdul al-Rahman III (929-961 M), dari Dinasti Umayah di Spanyol. Di Timur Islam, Bagdad juga didirikan Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk; dan di Kairo Mesir didirikan Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fatimah kalangan Syi’ah. Dengan demikian pusat-pusat kebudayaan yang juga merupakan pusat studi Islam pada zaman kejayaan Islam adalah Bagdad, Mesir dan Spanyol. Untuk lebih jelas lihat table 1 berikut :
Tabel 1
Pusat Studi Islam Zaman Kejayaan Islam Klasik

NO KOTA LEMBAGA PENDIRI
1 Bagdad Bait al-Hikmah Al-Amir (Bani Abbas)
Madrasah Nizamiyah Nizham al-Muluk
2 Mesir Universitas al-Azhar Fatimah (Syi’ah)
3 Spanyol Universitas Cordova Abd. Al-Rahman III (Umayah)

Studi Islam sekarang ini berkembang hampir diseluruh Negara di dunia, baik di dunia Islam maupun bukan Negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama). Di Universitas Damaskus (Syiria), studi Islam ditampung dalam Kulliyat al-Syariah (fakultas syariah) yang di dalamnya terdapat program studi Ushuludin, tasawuf, dan sejenisnya .
Universitas al-Azhar (Mesir dapat dibedakan menjadi dua periode; pertama, I periode sebelum tahun 1961, dan kedua periode setelah tahun 1961. Pada periode pertama fakultas-fakultas yang ada di IAIN, sedangkan setelah tahun 1961 di Universitas ini diselenggarakan fakultas-fakultas umum di fakultas agama.
Di Indonesia, studi Islam (pendidikan Islam tinggi) dilaksanakan di 11 Institut agama Islam Negeri (IAIN) dan 39 Sekolah Tinggi Agama Islam negeri (STAIN). Ada juga sejumlah perguruan tinggi swasta yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan Islam tinggi sebagai salah satu bagian studinya, seperti fakultas agama di Universitas Muhamadiyah Jakarta dan Universitas Islam Bandung (UNISBA).
Studi Islam di Negara-negara non-Islam diselenggarakan di beberapa Negara antara lain; di India, Chicago, Los angles, London dan Kanada. Di Algrach Universitas India studi Islam di bagi dua; Islam sebagai doktrin dikaji di fakultas Ushuludin yang mempunyai dua jurusan, yakni jurusan mazhab ahli Sunnah dan jurusan mazhab Syi’ah. Sedangkan Islam dari aspek sejarah dikaji di fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jamiah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies program dikaji di fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies, Persian Studies dan Political Sciense.
Di Cichago kajian Islam diselenggarakan di Cichago University. Secara organisatoris studi Islam berada dibawah pusat studi Timur Tengah dan jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Di lemabaga ini Kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Islam, naskah-naskah Klasik dan bahasa-bahasa Islam non-Arab.
Di Amerika studi-studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu sosial. Studi Islam di Amerika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.
Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen; pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, bahasa Islam non-Arab seperti Urdu, Turki dan Persia; dan keempat, ilmu-ilmu sosial, sejarah dan sosiologi. Di London studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (fakultas studi Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika .
Demikian bahwa pertumbuhan studi Islam berkembang sangat cepat dan direspon oleh berbagai kalangan masyarakat, ternyata dalam perkembangannya tidak hanya berkembang di perguruan tinggi dan Negara-negara Islam saja. Jika melihat perkembangannya seperti itulah studi Islam sejak zaman awal pembentukan Islam hingga sekarang.
BAB III
KESIMPULAN

1. Mempelajari pendekatan studi Islam ini agar mengetahui persoalan yang menyangkut usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama terutama dari sisi etika dan moralitasnya selama ini masih kurang mendapat tempat yang memadai.
2. Awal ada studi Islam itu sejak adanya pusat-pusat studi Islam klasik adalah Mekah da Madinah, Basrah dan Kufah, Damaskus dan Palestina dan Mesir. Madrasah Mekah dipelopori oleh Mu’as bin Jabal; madrasah Madinah dipelopori oleh Abu Bakar, Umar, Ustman; madrasah Basrah dipelopori oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik; madrasah Kufah dipelopori oleh Ali bin Abi Thalib dan lain-lain.
3. Pertumbuhan studi Islam berkembang hampir diseluruh negara di dunia, baik di dunia Islam maupun bukan negara Islam. Di dunia Islam terdapat pusat-pusat studi Islam seperti Universitas al-azhar di Mesir dan Universitas Ummul Qura di Arab Saudi. Di Teheran didirikan Universitas Teheran. Di Universitas ini studi Islam dilakukan dalam satu fakultas yang di sebut Kulliyat Illahiyyat (fakultas agama) dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi, Bandung: Alfabeta. 1993.

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek Jilid I, Jakarta: UI Press. 1985.

Harun Nasution, Format Baru Gerakan Keagamaan, dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.

Komaruddin Hidayat, Atas Nama Agama: Wacana agama dalam Dialog “bebas” konflik. Dalam bukunya andito (Ed), Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Masdar F. Mas’udi, Agama sumber Etika Negara-negara Perlu Pemikiran Ulang, dalam Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodelogi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2002.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.

Zaini Muchtarom, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI. 1986.











URGENSI STUDI ISLAM ASAL USUL DAN PERTUMBUHANNYA


MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur
pada Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Dosen :
Dr. Ilman Nafi’a, M.Ag











Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505630016

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009

Minggu, 25 Oktober 2009

Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Tradisional Dan Moderenisme

A. Pendahuluan
Usaha mengembangkan peradaban di kalangan umat Islam masa lalu, diawali dari usaha-usaha perluasan daerah kekuasaan (futuhat) yang berarti membuka daerah untuk dimasuki kekuasaan Islam. Walaupun demikian ekspansi berpengaruh terhadap pengenalan Islam dalam wilayah yang telah diduduki tersebut. Ekspansi wilayah, dalam hal ini peperangan merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Ini menunjukan bahwa sejarah umat Islam adalah sejarah politik. Hal ini logis karena prinsip kehidupan masa itu adalah mengemban amanah suci yang menyebarkan kebenaran atau “al-quwat fawq al-haq” (Khaerul Wahidin : 2004, ix).
Sejarah perkembangan pemikiran yang merupakan cikal bakal munculnya peradaban mengalami pasang surut mengikuti dinamikan perkembangan sejarah umat Islam. Pendidikan yang diartikan sebagai suatu yang mampu merubah kondisi yang lebih baik mengalami perkembangan dan perubahan baik dari segi tujuan, metode, system serta alat untuk mengukur keberhasilan dari proses pendidikan tersebut. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan haruslah diruntut menurut “historis” pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir, penggagas, penggerak dan pelaku pendidikan dari masa ke masa. Karena keterbatasan penulis mengenai hal ini, terutama mengenai literature maka pembahasan dalam makalah ini tidaklah berkutat pada masalah runtutan “kesejarahan” secara periodik dari tahun ke tahun tetapi lebih menekankan sisi-sisi perkembangan pemikiran yang pernah terlintas dalam sejarah intelektual terutama bidang pendidikan, khususnya perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan lebih khusus lagi dalam perkembangan pemikiran pendidikan Islam tradisional baik tradisonal maupun modern.

B. Pengertian pendidikan
Menurut Kamus Poerwodarminto (1984:123), kata pendidikan merupakan bentukan kata dasar “didik”. Kata didik menjadi kata kerja mendidik memiliki arti memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya bila kata didik diberi awalan pe dan akhiran an sehingga menjadi kata pendidikan yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantoro (1997:14 ) mengulas pengertian pendidikan dalam bab tersendiri. Beliau mengatakan bahwa pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan bathin, karakter), fikiran (intelek), dan tubuh anak “. Hasan Langgulung (Ramayulis, 2006:56 ) meninjau segi kebahasaan bahwa pendidikan berasal dari bahasa Inggris terambil dari kata “education” yang akar katanya berasal dari bahasa Latin “educare” yang berarti memasukan sesuatu. Maksudnya adalah memasukan ilmu melalui kepala sesorang.
Dalam tinjauan khasanah keilmuan Islam, pendidikan berasal dari beberapa kata bahasa Arab diantaranya “tarbiyah” dengan kata kerja “robba”.Istilah lain adalah “ta’lim dan “addaba”. Kata-kata tersebut mengandung implikasi kepada pengertian yang berbeda. Istilah “ta’lim dengan kata kerja “allama” mengandung pengertian kadar memberi tahu atau memberi pengetahuan. Berbeda dengan kata “robba” dan “addaba” yang mengandung makna pembinaan, pimpinan, pemeliharaan dan sebagainya (Zakiah Daradjat, 1996:28-29). Ta’lim menurut Al-Attas yang dikutip oleh Hasan Langgulung (1988:5) mempunyai makna hanya terpaku pada pengajaran agar mereka mengetahui, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan “tarbiyah” terlalu luas sebab kata ini penggunaannya tidak saja untuk manusia juga digunkan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara, membela, beternak dan sebagainya. Dengan demikian istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih tepat dengan istilah ‘at-tarbiyah”, ta’lim dan al-riyadloh” Pendidikan biasanya diterjemahkan dengan usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap peserta didik untuk mengarahkan dan membimbing dan memberikan pengajaran dan didikan serta latihan agar peserta didik berkembang lahir dan batin, jasmani dan rohani menjadi dewasa dalam aspek pengetahuan, hukum, moral, mental, intelektual dan keterampilan serta menjadi dewasa dalam berbagai aspek kehidupannya.
Undang-undang No. 2 Th 1989 tentang sistim pendidikan Nasional disebutkan, bahwa: Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan manusia Indonesia, yaitu beriman dan betaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur berkepribadian mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani. Penulis dapat simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa kepada orang yang belum dewasa untuk mencapai kesempurnaan jasmani dan rohani, atau dengan kata lain pendidikan berarti bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa untuk mengarahkan sesuai dangan fitrahnya agar berkembang secara maksimal sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan pengertian Pendidikan Islam diuraikan oleh Abd. Rachman Shaleh (1976:13) menyebutkan bahwa Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan dan asuhan terhadap peserta didik agar kelak setelah selesai pendidikan dapat memahami dan mengamalkan ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life ( alan kehidupan). Hal ini menunjukan bahawa pendidikan Islam adalah proses informasi ilmu pengetahuan dan sikap pada peserta didik, yang mempunyai semangat tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya sehingga terwujud ketaqwaan, budi pekerti yang luhur. Artinya pendidikan Islam itu sebagai usaha yang dilakukan secara sistematis dalam pembentukan siswa supaya hidupnya sesuai dengan tujuan hidup ajaran Islam.

C. Corak Pemikiran dalam pendidikan Islam
Untuk mengklasifikasikan pemikiran tradisional dengan yang tidak cukup sulit, sebab dalam pendidikan ada istilah “reconstruktion end canges”, Artinya yang tradisi akan selalu diakses sebagai tipe awal, kemudian dtambahi dengan modifikasi-modifikasi baru. Sehingga dalam dunia pesantren ada istilah ”Menjaga/mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil yang baru, yang lebih baik”. Ideologi pendidikan dalam tinjauan Giroux dan Aronowitz (Oky Syaeful R. Harahap, 2007) menyebutkan ada tiga aliran besar, pertama aliran konservatif, kedua aliran liberal dasn ketiga aliran kritis. Aliran konservatif berpendapat bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan tatanan dan perubahan sosial. Pendidikan adalah an sih pendidikan.
Adapun fenomena kebodohon, kemiskinan, tertindas adalah kesalahan mereka sendiri. Aliran liberal (kebebasan individu, pengembangan kemampuan, perlindungan hak) hampir sama dengan aliran konservatif dalam tinjauan sosial politik bahwa masalah kemasyarakatan dengan masalah sekolah dua hal yang berbeda. Berbeda dengan dua aliran sebelumnya aliran kritis memandang bahwa tujuan pendidikan tidak bisa tidak adalah transformasi sosial. Saat ini dunia pendidikan terkontaminasi oleh idiologi dominan negara, dunia pendidikan dianggap melanggengkan diskriminatif dan berpihak pada status quo. Ada juga yang berpendapat bahwa gerak laju pemikiran Islam ditandai dengan istilah aliran tradisional, fundamentalis, modern dan neomodern. Perkembangan neomodernis yang diusung oleh Fazlur Rahman (1982:155-175), lebih menekankan kepada semangat ijtihad yang terus menerus dalam konteks berusaha menemukan pesan-pesan al-Qur’an. Ciri-ciri neo-modernism Rahman sebagai pencetus awal dari aliran ini adalah:
1. Penafisiran Al-Quran secara sistematik dan komfrehensif,
2. Penggunaan metode hermeneutika yang digunakan untuk memahmi teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum, falsafah,
3. Pembedaan secara jelas antara Islam Normatif dan Islam Historis,
4. Penggabungan paradigma tradisionalis dan modernisme.
Sedangkan kaum tradisionalis lebih memfokuskan diri dalam pengembagan keilmuan Islam dengan memakai metode “kesejarahan masa lalu” yang bertumpu pada semangat penyebaran Islam.

D. Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Machmud, 1979:3). Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk: (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 164-165).
Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar
anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 165).
Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar (Dimyati Machmud, 1979:3). Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.
Shipman (1972:33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian : (1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran (schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan "education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan" (Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, 1996: 3).



E. Pendidikan Islami yang Bagaimana?
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991:45). Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991:150), mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985:15) yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan (A.Malik Fajar, 1995:5).
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern.
Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang
mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya.
Kedua disain "pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati (M. Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Ketiga, sepuluh paradigma yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999:12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998:5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.

E. Kesimpilan
Metode berfikir masyarakat tradisionalis memandang bahwa pendidkian sebagai salah satu bidang kehidupan yang sangat fundamental di samping persoalan hubungan antara manusia dengan Tuhan (vertical). Oleh karena itu proses belajar mengajar dalam menacari ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari agama. Ilmu pengetahuan bersumber dari “Sang Causa Prima” demikian juga agama muaranya akan kepada “Sang Pencipta” atau akan menuju ma’rifatullah, pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Pemisahan agama dengan ilmu pengatahuan menyebabkan ilmu dan teknologi kering akan nilai (value free). Sedangkan memisahkan agama dari ilmu pengetahuan akan menemukan agama sebatas coretan-coretan, teks-teks dan nash-nas yang tidak berdimensi “kemaslahatan”.
Ilmu pengetahuan yang tidak dibarengi nilai-nilai moral-agama melahirkan ilmu yang materialistik bahkan ateis. Ini terbukti dengan perkembangan science dan teknologi abad ini yang berdampak pada “dehumanisasi” menjauhkan manusia dari unsur kemanusiaannya, disharmoni, disfungsi, disalokasi, krisis global dan krisis multidimensional. Ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan (Theocentris), dikaji melalui panca indra dan akal. Fikir dan dzikir merupakan keniscayaan dalam memperoleh ilmu pengetahaun. Pengkajian ayat Tuhan baik kitab suci (sacral-transenden) maupun alam semesta (kauniyah-cosmos) dipadukan dengan metodologi yang rasionalis-empiris dan teologis-spritualis. Sehingga pencarian dan penemuannya lebih komprehensif dan menyentuh kebutuhan manusia yang material dan immaterial, terpenuhinya kebutuhan fisik-material dan psikis-spritual.










DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema Insani Press, Jakarta, 1995.

Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991.

----------------------------- Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.

A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN. Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995.

Anwar Jasin, Keranka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, 1985.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Amissco, Jakarta, 1996.

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta : Logos. 1998.

Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga. Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun III, UII, 1998.

Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat", Tangga, 4 Mei 199.

Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru Yang Lebih Efektif, 1997.

Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition, The University of Chicago. Chicagi, 1982. Terjemah. Ahsin Mohammad, Pustaka, 1985.
Hasan Langgulung. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1988.

------------------------ Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al Husna. 1992.

------------------------ Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan). Jakarta: Pustaka Al Husna. 1995.

Khaerul Wahidin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cirebon 2004.

Ki Hajar Dewantoro. Pendidikan, Bagian Pertama, cet 2, Yogyakarta : Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa. 1977.

Poerwadarminto. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Proyek Pembinaan P&D. 1984.

Suroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun 2000. dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor: Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.

M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan. Yogyakarta, BPFE, 1990.

M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern. Seminar dan Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.

M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Editor, Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.

Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal Anarkis. Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, 1999.

Zakiah Daradjat. Ilmu Pendidikan Islam Jakarta: Bumi Aksara. 1996.






PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM ANTARA TRADISIONALISME DAN MODERNISME


MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Tugas Terstruktur
pada Mata Kuliah Sejarah Intlektual Pendidikan Islam

Dosen : Prof. Dr. H. Khaerul Wahidin, M.Ag










Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505910045



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009