Deding Sudarso Mei Maemunah Jannathan Syahru Sudarso Hajjan Jeanuarda Sudarso

Kamis, 29 April 2010

HEGEMONI LAKI-LAKI DALAM BAHASA PEREMPUAN

HEGEMONI LAKI-LAKI DALAM BAHASA PEREMPUAN

Oleh : Mumun Munawaroh

Abstrak

Fungsi bahasa selain sebagai alat komunikasi, ternyata juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai-nilai yang dianut sebuah masyarakat. Bahasa memiliki “kekuatan tersembunyi” untuk melestarikan nilai-nilai dominan yang menempatkan jenis kelamin laki-laki sebagai pihak yang kuat dan dianggap sebagai pihak yang berada pada posisi yang benar, sebaliknya perempuan dianggap lemah, tidak berdaya dan berada pada posisi yang salah. Padahal kuat dan lemah serta benar dan salah adalah sifat yang potensial dimiliki oleh kedua jenis kelamin. Karena bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat dipelajari dan dapat diubah, maka cara-cara mensosialisasikan bahasa pada agen sosialisasi seperti keluarga, teman sebaya, lembaga pendidikan dan media massa dapat ditempuh dengan cara-cara yang lebih memiliki sensifitas jender untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan setara bagi kedua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.

A. PENDAHULUAN

Melalui bahasa yang lugu, suatu saat anak saya pernah melontarkan pertanyaan kepada saya begini : “Bu, kenapa kalau ada wanita yang menjadi polisi, kata-kata wanitanya selalu ditempelkan setelah kata-kata polisi (maksudnya kata-katanya dipertegas menjadi Polwan, polisi wanita, pen), sedangkan kalau laki-laki yang menjadi polisi tidak disebut sebagai polisi laki-laki?” Mungkin anak saya bertanya dalam hati kenapa tidak ada istilah “Pollak” sebagai tandingan “istilah “Polwan”?

Pertanyaan tersebut sungguh sangat sederhana, namun jawabannya mungkin tidak sesederhana itu. Kalau diteruskan pertanyaan serupa dapat saja menjadi demikian : kenapa ada istilah darma wanita dan tidak ada istilah darma pria. Suatu istilah yang terdengar aneh, asing dan pernah menjadi bahan tertawaan sebagian besar kaum laki-laki di tempat kerja ketika istilah ini sempat diajukan oleh salah seorang teman perempuan penulis. Bahkan, sebagian besar kaum perempuannyapun ikut menertawakannya. Dalam pikiran mereka mana mungkin kaum laki-laki mendarmakan dirinya kepada kaum perempuan, sedangkan kaum perempuan tentu saja dapat dan “harus” mendarmabaktikan seluruh hidupnya kepada laki-laki. Karena alasan laki-laki tidak pantas mendarmakan dirinya kepada perempuan itulah, banyak kaum laki-laki yang tidak rela dipimpin oleh perempuan, khususnya di ruang publik (public sphere). Sekalipun kaum perempuan potensial untuk mendapatkan, melakoni, dan berkarya sama baiknya dengan kaum laki-laki bahkan mungkin jauh lebih baik daripada laki-laki. Demikian juga dengan istilah peran ganda, selalu saja kata wanita melekat setelahnya , sehingga akan membentuk kata peran ganda wanita, dan tidak akan pernah terdengar kata peran ganda laki-laki. Lagi-lagi istilah ini akan terkesan sangat aneh, asing dan pasti akan ditertawakan. Untuk istilah yang terakhir ini, Ieke Sartika Iriany[1] menegaskan bahwa adanya hak, peluang dan kewajiban yang setara antara pria dan wanita dalam berbagai bidang kehidupan, sebenarnya dihadapkan pada posisi keduanya (pria dan wanita) pada “peran ganda”, yaitu peran di ruang domestic dan public sebagai pencari nafkah (bread winner). Namun, tampak suatu hal yang menarik bagi masyarakat Indonesia, bahwa peran ganda hanya ditujukan bagi wanita dan tidak pernah dibicarakan peran ganda yang menyangkut kaum pria.

Istilah-istilah di atas adalah sebagian istilah yang sejatinya berkonotasi positif. Sebab wanita yang menjadi polisi, wanita yang mendarmabaktikan dirinya dan wanita yang berperan ganda adalah contoh-contoh untuk label peran atau perbuatan positif dalam arti tidak bertentangan dengan pandangan masyarakat. Meskipun label-label tersebut tidak bertentangan dengan masyarakat, namun ada hal yang perlu digarisbawahi bahwa bahasa yang dipakai untuk menampilkan sosok perempuan adalah bahasanya laki-laki. Bahkan pada saat perempuan ingin bersuara mengeluarkan gagasan istilah “darma laki-laki” atau “peran ganda laki-laki”, perempuan dianggap tidak pantas menciptakan ide tersebut. Perempuan menjadi terasing dari kebahasaan. Karlina Leksono dan Supelli[2] mencatat bahwa perempuan tidak dapat membahasakan diri dengan cara seperti laki-laki dapat dengan begitu saja memetik kata-kata yang ada dalam bahasa kamus untuk menggambarkan siapa dirinya, apa kegiatannya dan tujuan yang ia cita-citakan. Kris Budiman seperti yang dikutip oleh Karlina Leksono dan Supelli[3] mencatat bahwa seorang dokter, pengacara, polisi, lurah, pelukis, camat, pendeta dan masih banyak lagi, selalu saja harus ditempeli dengan perempuan/wanita jika hendak dipakai untuk menunjuk diri perempuan yang berkecimpung dalam salah satu profesi tersebut.

Laki-laki tidak pernah memerlukan penegasan tersebut karena semua profesi yang tercantum di atas sudah diputuskan secara tidak tertulis sebagai profesi yang masuk ke dalam wilayah laki-laki

Fenomena berbahasa di atas ternyata tidak netral (bias). Ketidaknetralan itu juga terjadi pada label negatif semisal label “pelacur”. Makna yang terkandung dalam istilah pelacur sesungguhnya dapat saja menunjuk kepada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Kata “lacur” bermakna buruk laku, malang, sial, celaka. Sifat-sifat tersebut dapat saja terjadi pada kedua jenis kelamin. Tetapi karena bahasa yang dipakai, kembali bahasa laki-laki, maka kata “pelacur” senantiasa berkonotasi perempuan, sehingga di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[4], pelacur diterjemahkan sebagai “perempuan yang melacur, sundal, atau wanita tuna susila”

Dengan mengacu kepada kamus seperti itu,- yang dibuat berdasarkan kacamata laki-laki-, masyarakat langsung saja memunculkan stigma “perempuan pelacur”, “perempuan penggoda” untuk kasus-kasus semisal pemerkosaan terhadap perempuan, dan kebanyakan perempuanlah yang dipersalahkan sebagai orang yang tidak sanggup menjaga diri. Sementara itu laki-laki yang bertindak selaku pemerkosa, walaupun mungkin disalahkan, tetapi dianggap sebagai “kesalahan biasa sebagai seorang laki-laki” dan tidak pernah dikenai stigma sebagai “laki-laki penggoda” atau “laki-laki pelacur”.

Ditinjau dari sudut antropologi, bahasa merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal. Ketujuh unsur kebudayaan itu adalah :1) system religi dan upacara keagamaan; 2) system dan organisasi kemasyarakatan; 3) system pengetahuan; 4) Bahasa; 5) Kesenian; 6) Sistem mata pencaharian hidup; 7) Sistem teknologi dan peralatan[5]. Sebagaimana makna yang terkandung di dalam kata kebudayaan sebagai totalitas pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak mendasarkan diri kepada nalurinya tetapi sebagai sebuah pengungkapan oleh manusia melalui proses belajar, maka adalah sebuah keniscayaan bahwa ketujuh unsur tadi, termasuk bahasa di dalamnya melibatkan laki-laki dan perempuan untuk mengkonstruksikannya. Laki-laki dan perempuan sesungguhnya memiliki akses yang sama untuk memikirkan dan menciptakan bahasanya sendiri sebagai salah satu alat berkomunikasi dengan sesamanya dan dengan dunianya. Anehnya yang dianggap pantas untuk mengatur dunia ini adalah jenis kelamin laki-laki, sehingga timbullah ideology “man dominated society” atau “man dominated world” yang telah menghegemoni dunia sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, termasuk tentu saja bahasa sebagai salah satu produk kebudayaan.

Lantas, di manakah akar masalahnya ? Mungkinkah pada patriarki, peran kerja secara seksual, peran keluarga, pendidikan, atau sosialisasi? Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan termasuk hal-hal yang disebutkan tadi, terlepas dari sex biologis dipenuhi oleh bias laki-laki dan cenderung opresif terhadap perempuan. Tak terkecuali telah berlangsung bias bahasa yang disebabkan oleh ideology patriarki maupun disebabkan oleh sosialisasi. Tulisan selanjutnya membahas mengenai patriarki sebagai biang keladi munculnya bias bahasa dan karena proses pengalaman sosial atau sosialisasi yang berlangsung di keluarga, teman sebaya, lembaga pendidikan, dan media massa.

B. PATRIARKI SEBAGAI BIANG KELADI?

Patriarki atau man dominated world dapat dijumpai pada berbagai level kehidupan. Ia dapat menjelma menjadi bentuk peran social semisal dalam pembagian kerja, peran ekonomi, politik, hukum, kebudayaan, termasuk bahasa.

Pola pikir yang patriarkis dapat dipicu dari pemahaman terhadap ayat-ayat suci yang bias jender. Pemahaman terhadap Al Qur’an Surat Al-Nisa (4:34) misalnya. Kalimat “al rijālu qowwāmūna ‘ala al-nisā” الِرّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ yang diterjemahkan sebagai “laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”, sebagian besar ulama menafsirkan bahwa laki-laki itu pemimpin di segala ruang dan waktu, berlangsung dalam urusan keluarga (domestic sphere) maupun urusan social kemasyarakatan (public sphere). Demikian juga berlaku bagi zaman dahulu, sekarang maupun masa yang akan datang.

Ayat ini acapkali dijadikan hujjah untuk memperkuat posisi laki-laki sebagai superordinat, sebaliknya perempuan dianggap subordinat. Alki-lai dianggap sebagai superior dan perempuan dianggap inferior. Menanggapi ayat ini, Nasaruddin Umar[6] berujar sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara kritis :

1. Asal-usul ayat ini turun dalam konteks kerumahtanggaan (domestic sphere), bukan dalam lingkup public (public sphere). Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih, seorang laki-laki Anshar datang dengan istrinya bertengkar lalu sang istri mengadu kepada Nabi bahwa dia dipukul hingga berbekas di mukanya, maka turunlah ayat ini.

2. Ayat ini menggunakan kata Al-rijāl الِرّجَالُ (gender term), yang menunjuk kepada kapasitas tertentu yang dibebankan budaya terhadap laki-laki tertentu, bukannya menggunakan kata Al-Dzakr الذكر(sex term), yang menunjuk kepada setiap orang yang berjenis kelamin laki-laki.

3. Kata “qowwāmūna” قَوَّامُوْنَ yang diartikan sebagai “pemimpin”, yakni laki-laki menjadi pemimpin terhadap perempuan. Padahal dalam tafsir bahasa Inggris karya Abdullah Yusuf Ali, “qowwam” قَوّامdiartikan sebagai “man are the protectors and maintainers of woman”, yaitu “laki-laki adalah pelindung dan pemelihara bagi kaum perempuan”.

4. Muhammad Abduh dalam Al-Manārnya tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Alasannya karena kelanjutan ayat ini tidak menggunakan kata “bima fadldlolahum ‘alaihinna” بِمَا فَضََََّلهُمْ عَلَيْهِنَََََّ atau “bitafdlīlihim ‘alaihinna”, بِتَفْضِيْلِهِمْ عَلَيْهِنََََّyang lebih tegas menunjuk laki-laki mempunyai kelebihan di atas perempuan, tetapi lanjutan ayat tersebut memiliki redaksi بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ “bimā fadldlola Allahu ba’dlohum ‘ala ba’dlin (oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain). Dengan demikian tidak mutlak dan tidak selamanya laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan.

Begitulah kenyataannya pola pikir yang bias jender telah demikian dahsyat mempengaruhi pola tindakan seseorang. Berawal dari pola pikir dengan menggunakan “bahasa laki-laki” terhadap teks-teks ajaran agama inilah, patriarki telah menjadi biang keladi munculnya bias berbahasa.

Menurut Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto[7] ketika bias bahasa pria telah mempengaruhi hubungan di antara jenis kelamin, maka dominasi pria telah menghalangi komunikasi wanita, cara-cara wanita diakomodasi dan disingkirkan melalui pola-pola wicara dan bahasa pria, di sinilah wanita temasuk ke dalam Teori Kelompok Bisu” (Muted Group Theory). Menurut teori ini, ketika pengalaman-pengalaman dan makna-makna maskulinitas dan feminitas mengalami konflik, nilai maskulin cenderung menang, dimenangkan atau dikondisikan untuk selalu menang, disebabkan kuatnya dominasi pria dalam masyarakat. Dalam kondisi demikian, lanjut Idi Subandy dan Hanif Suranto, kedudukan wanita adalah tetap, sebagai kaum yang bisu, muted, voiceless, atau silent majority, kelompok masyarakat bisu yang benar-benar mengejawantahkan diskursus yang bergantung pada konstruksi wanita sebagai obyek, sehingga tanda-tanda dalam bahasa, meskipun selalu digunakan, tetapi tidak pernah mencapai “the satus of full speaking subject”

C. BAHASA SEBAGAI PRODUK PROSES PENGALAMAN SOSIAL (SOSIALISASI)

Kamanto Sunarto[8] mengidentifikasikan terdapat empat agen utama sosialisasi, yaitu keluarga, kelompok teman sebaya, lembaga pendidikan dan media massa. Meskipun Sunarto tidak secara khusus mendudukkan persoalan jender di dalamnya, namun penulis berasumsi bahwa kesemua agen tersebut dapat mensosialisasikan apa saja, termasuk persoalan bias jender dalam bahasa.

1. SOSIALISASI BAHASA DALAM KELUARGA

Emory S. Bogardus[9] mendefinisikan “The family is a small social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons”

Tidak dapat disangkal lagi bahwa keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama dan utama. Keluargalah sebagai “unit social” terkecil yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat, suku bangsa, negara bahkan masyarakat global (dunia). Bagaimana masyarakat secara luas memandang dan memperlakukan manusia satu sama lain, termasuk di dalamnya memandang relasi perempuan dan laki-laki, sedikit banyak akan sangat bergantung kepada bagaimana keluarga saling bersosialisasi satu dengan yang lain.

Sosialisasi menurut William J. Goode[10] diartikan sebagai proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok.

Di dalam kehidupan masyarakat manapun, keluarga merupakan unit terkecil yang melaksanakan fungsi sosialisasi terhadap anak-anaknya. Keluarga merupakan kelompok primer (primary group) yang pertama dari seorang anak. Meskipun bukan menjadi satu-satunya factor, keluarga merupakan unsur yang sangat menentukan dalam membentuk kepribadian dan perkembangan anak, karena dari situlah perkembangan kepribadian bermula.

Sosialisasi di dalam keluarga disebut sebagai primary socialization, yaitu sosialisasi yang pertama diterima oleh seorang anak yang akan menghasilkan basic personality structure. Pola orientasi nilai yang ditanamkan pada masa ini seturut Paulus Wirutomo[11] akan sulit untuk diubah lagi sepanjang hidupnya. Namun demikian, bisa atau tidaknya nilai-nilai berubah tergantung kepada masyarakatnya sendiri. Sangat boleh jadi, generasi muda tidak lagi menganut nilai-nilai yang dipegang kukuh oleh generasi tua, karena menurut generasi muda hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

Ketika keluarga bermaksud merespon kelahiran anak, tercetuslah ungkapan (bahasa) “gagah, tampan, perkasa’ dan beragam sifat maskulin lainnya untuk anak laki-laki dan ungkapan (bahasa) “cantik, manis” dan beraneka sifat feminin lainnya untuk anak perempuan.. Ungkapan bahasa seperti ini pada gilirannya diterima oleh anak dan akan terus dibawanya sepanjang hidupnya, masuk ke dalam alam bawah sadarnya dan menjadi sebuah nilai yang cenderung menetap. Betapa hal demikian tidak menjadi langgeng, karena orang-orang di sekitarnya terus menerus mensosialisasikannya.

Sampai tiba waktunya anak beranjak remaja, khususnya pada saat anak mengalami masa pubertas, yang salah satu cirinya ditandai dengan mengenal lawan jenis, acapkali ungkapan (bahasa) yang terdengar untuk anak remaja perempuan : “Hati-hati, jaga dirimu baik-baik”. Tetapi jarang bahkan tidak pernah terdengar ungkapan yang sama untuk remaja laki-laki. Seolah-olah remaja laki-laki sudah pasti dapat menjaga diri. Kenyataannya banyak laki-laki yang tidak bisa menahan diri untuk mempermainkan perempuan. Kasus pelecehan seksual (sexual and emotional harassment) misalnya dari hanya sekedar iseng melontarkan komentar seksual yang merendahkan sampai kepada percobaan perkosaan. Orang tua semakin memperkukuh keyakinan bahwa remaja perempuan dengan segala atribut seks biologisnya bisa menjadi ancaman, dan seringkali dipersalahkan jika kemudian terjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan.

Begitu seterusnya tatkala anak menginjak dewasa. Pada saat anak memutuskan untuk mencari pasangan hidup, bahasa nasehat untuk laki-laki dan perempuanpun dibedakan. Beberapa contoh ungkapan dalam bahasa Sunda“awewe mah dulang tinande” (perempuan bersifat menunggu), memberikan legitimasi bahwa perempuan tidak patut mengambil inisiatif, karena masyarakat mengharapkan kepada perempuan untuk menampilkan prilaku menunggu. Berdasarkan persepsi itulah, maka perempuan dianggap tidak pantas untuk mengutarakan perasaan cintanya kepada laki-laki, tidak cocok untuk “mencari jodohnya sendiri” bahkan implikasinya lebih jauh perempuan jarang atau tidak pernah diberi kedudukan puncak sebagai pengambil kebijakan (decision makers). Keputusan baru dianggap absah di tangan para pengambil kebijakan yang pada umumnya berjenis kelamin laki-laki.

Jika dihitung, sosialisasi ini baru dari satu atau dua tingkatan kekerabatan, yaitu sosialisasi yang berlangsung antara seorang ayah, ibu, dan anak-anaknya. Bentuk keluarga seperti ini disebut dengan keluarga batih (nuclear family). Pada kenyataannya, persoalan bahasa ini disosialiasikan lebih dari satu tingkatan kekerabatan, yaitu diberikan oleh nenek, kakek, buyut terus ke atas yang menggambarkan bentuk keluarga yang diperluas (extended family). Pada gilirannya, anakpun akan mensosialisasikan hal tadi kepada keturunannya terus menerus ke bawah mungkin sampai tujuh tingkatan. Sebagaimana digambarkan oleh Harsojo[12] bahwa dalam keluarga Sunda, akan didapati adanya keluarga luas dengan mempergunakan istilah-istilah kekerabatan sebagai berikut :

+ 7 gantung siwur

+ 6 udeg-udeg

+ 5 janggawareng

+ 4 bao

+ 3 buyut

+ 2 embah

+ 1 kolot

0 ego

_ 1 anak

_ 2 incu

_ 3 buyut

_ 4 bao

_ 5 janggawareng

_ 6 udeg-udeg

_ 7 gantung siwur

Peribahasa seperti ini, tidak saja didapat dalam keluarga Sunda. Dalam bahasa Jawa pun terdapat peribahasa “swarga nunut, neraka katut” (istri harus menurut pada suami, baik ke syurga maupun ke neraka). Dengan peribahasa ini mengandung arti bahwa istri pada khususnya, dan semua perempuan pada umumnya berada posisi subordinat (bawahan) yang bersifat mengekor kepada orang lain (baca: laki-laki) sedangkan laki-laki dianggap sebagai superordinat (atasan) yang berada pada garis depan.

Peribahasa inipun disosialisasikan oleh tujuh atau sepuluh tingkatan kekerabatan, sehingga menjadi citra baku. Bahkan, peribahasa yang semodel dengan peribahasa dalam bahasa Sunda dan Jawa di atas, yang mengandung pengertian memposisikan perempuan sebagai the second class pada umumnya terdapat pada bahasa-bahasa lain di dunia.

2. SOSIALISASI BAHASA DALAM KELOMPOK TEMAN SEBAYA

Teman sebaya (peer group) memiliki peran yang sangat menentukan di dalam mensosialisasikan bahasa. Apa yang sudah menjadi citra baku di keluarga, selanjutnya diperkuat di dalam kelompok teman sebaya yang secara kronologis menjadi agen sosialisasi tingkat kedua setelah keluarga sebagaimana dijelaskan oleh Havighurst dan Neugarten[13] “chronologically, the peer group is the second major socializing agency”.

Secara sederhana, teman sebaya dapat dikelompokkan berdasarkan kepada usia dan berdasarkan kepada status social. Teman sebaya yang mendasarkan diri kepada factor usia dapat dibedakan menjadi teman sebaya anak-anak, teman sebaya remaja dan teman sebaya orang dewasa. Sementara itu, teman sebaya yang mendasarkan diri kepada status social biasanya dipengaruhi oleh persamaan minat dan aktivitas, persamaan pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan posisi social.

Pada kelompok teman sebaya anak-anak, anak laki-laki seringkali merasa enggan mengerjakan pekerjaan seperti menyapu lantai dan mencuci piring, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain. Hal ini sesungguhnya dipengaruhi oleh sex differentiated toys atau gender typed toys. Oleh karena anak laki-laki dengan teman sebayanya diberi mainan berupa mobil-mobilan, atau robot-robotan, maka kalau ada anak laki-laki yang bermain alat memasak, segera saja teman sebaya anak laki-laki yang lain menertawakan, dan mengeluarkan kata-kata (bahasa) “banci”, atau “itu sih pekerjaan perempuan”. Demikian juga dengan jenis mainan anak perempuan. Seringkali boneka menjadi media atau alat bermain anak-anak perempuan dan sebayanya. Jika ada anak perempuan yang bermain dan berorientasi pada permainan anak laki-laki, segera saja akan mendapat label “tomboy”

Melihat kenyataan yang ada di masyarakat tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa pekerjaan yang dahulu dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti memasak, ternyata dapat juga dikerjakan oleh laki-laki. Profesi memasak yang dikerjakan oleh jenis kelamin laki-laki (di hotel-hotel sering disebut sebagai chef atau koki) menunjukkan bahwa pekerjaan itu sesungguhnya dapat dipertukarkan dan dapat dipelajari oleh kedua jenis kelamin. Demikian juga dengan beberapa pekerjaan yang dahulu dianggap sebagai pekerjaan laki-laki, sekarang dapat pula dikerjakan oleh perempuan. Betapa tidak, zaman sudah memperlihatkan banyak wanita yang sanggup menjadi ahli mesin, ahli membuat robot, ahli keuangan, dan beragam keahlian lainnya.

Pola bahasa yang memetakan istilah “tomboy” dan “banci” seperti di atas, terus berlanjut pada teman sebaya remaja dan teman sebaya dewasa.

3. SOSIALISASI BAHASA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN

Seorang anak mengenal dunia di luar keluarga dan tetangga dekatnya melalui lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan dari mulai Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi inilah seorang anak manusia bersosialisasi dengan pendidiknya dan orang-orang yang berkecimpung di bidang pendidikan serta dapat mengakses buku-buku pelajaran dan referensi yang beraneka ragam.

Disadari atau tidak , banyak di antara guru dan penulis buku-buku pelajaran masih menggunakan bahasa yang memarginalkan perempuan dalam memberikan contoh-contoh untuk menjelaskan pelajaran yang diampunya. Hal ini banyak ditemukan dalam pengajaran bahasa Indonesia maupun bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Arab.

Dalam pemilihan kata, ungkapan dan kalimat masih ditemukan idiologi yang merendahkan perempuan, masih dilekatkan stereo type pada kedua jenis manusia; laki-laki dan perempuan. Contoh-contoh seperti “Bapak pergi ke kantor. Ibu pergi ke pasar. Budi membantu bapak di kebun. Ani membantu ibu di dapur” , nampaknya begitu familiar bagi murid-murid Sekolah Dasar. Karena contoh-contoh tersebut terdapat dalam bahan ajar Sekolah Dasar kurikulum 2004, yang menurut Daryo Susmanto[14] mempunyai andil dalam membentuk peran dan harapan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Contoh yang semacamnya masih ditemukan pada bahan ajar Sekolah Dasar yang mengikuti pendekatan kurikulum berbasis kompetensi [15] misalnya “Minyak goreng itu akan digunakan ibu untuk membuat penganan kesukaanku, Tanti bermaksud ke rumah Ami untuk mengerjakan kerajinan tangan”

Penempelan peran yang tidak andil gender pada laki-laki dan perempuan juga ditemukan dalam pelajaran bahasa Inggris, ketika guru menjelaskan Past Continuous Tense, contoh yang sering digunakan adalah “ While my father was reading a newspaper, my mother was cooking in the kitchen “ (ketika ayahku sedang membaca Koran, ibuku sedang memasak di dapur). Contoh lain yang ditemukan pada bahan ajar bahasa Inggris untuk SLTA[16] “Mother was cooking when I called her, Father was drawing when mother came in.

Tak ketinggalan ungkapan yang mendomestikkan perempuan terdapat juga dalam bahan ajar bahasa Arab. Dalam buku Al-Arabiyah li an-Nasyiin yang nota bene menjadi bahan ajar matakuliah bahasa Arab pada PPB (Pusat Pengembangan Bahasa) STAIN Cirebon terdapat dialog antara seorang anak dengan bapaknya tentang bahwa awal bulan Ramadhan telah diumumkan di radio. Di akhir dialog bapak menyuruh anak untuk memberithu ibunya agar mempersiapkan untuk sahur mereka. “قل لها تعد سحورا لثلاثة يا بنى

Dipilihnya kalimat yang menggambarkan peran domestik bagi perempuan dan peran publik bagi laki-laki bukan tanpa implikasi , setidaknya pengalaman yang diperoleh anak dalam keluarga dan bersosialisasi dengan teman sebaya lebih diperkuat lagi dari apa yang mereka peroleh dari lembaga pendidikan. Hal semacam ini terus terjadi secara berkelanjutan sehingga konstruk budaya melalui bahasa ini lambat laun akan terinternalisasi dalam diri anak, baik dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotornya yang bias gender, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada seluruh pandangan hidupnya dalam menyikapi fenomena di sekitarnya.

Pandangan seseorang yang bias gender ini, selain dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperolehnya dari lembaga pendidikan formal melalui buku-buku pelajaran dan penjelasan gurunya. dipengaruhi juga oleh buku-buku referensi yang dibacanya, baik berupa teks-teks keagamaan maupun yang lainnya. Hasil penelusuran Nasaruddin Umar [17] tentang penafsiran teks yang bias gender, beliau menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya bias gender dan memarginalkan perempuan disebabkan pemahaman yang berbeda terhadap tanda baca, qiraat, kosa kata, dhamir, batas istitsna’ (pengecualian) dan huruf athf.

Kamus bahasa Arab pun mempunyai andil yang cukup signifikan dalam mensosialisasikan bias gender, misalnya, perempuan dalam bahasa Arab adalah الأنثى berasal dari kata أنث berarti lemas, lembek, tidak keras. Sedangkan laki-laki disebut الذكر , jika digabung menjadi رجل ذكر berarti laki-laki perkasa, kuat, pemberani. Pengertian tersebut dapat mempengaruhi pembacanya bahwa kata الأنثى adalah sosok makhluq yang lemah sementara الذكر adalah sosok makhluq yang kuat.

Selain itu metode penafsiran tahlili terhadap al-Qur’an, masuknya cerita-cerita israiliyat pada penafsiran al-Qur’an serta pembakuan kitab-kitab fiqh juga turut serta dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender pada para pembacanya.

4. SOSIALISASI BAHASA DI MEDIA MASSA

Bahasa yang digunakan sehari-hari selain berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai-nilai yang dianut sebuah masyarakat. Bahasa memiliki “kekuatan tersembunyi” untuk melestarikan nilai dan mendorong masyarakat melakukan aksi-aksi social.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka media massa yang berarti alat penghubung untuk umum (sebagai terjemahan dari bahasa Inggris mass media) tidak dapat diragukan lagi peranannya dalam membentuk persepsi dan cara pandang seseorang terhadap sesuatu hal, dalam mensosialisaikan dan mengukuhkan nilai-nilai yang langgeng (atau lebih tepat sengaja dilanggengkan) oleh masyarakat. Tatkala bahasa digunakan oleh media massa, Jun Kuncoro[18] meyakini bahwa ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dan kesengatannya yang rutin dalam menanamkan stereotype atau prasangka tertentu.

Pembahasaan dan gaya pelaporan pers (umumnya dengan menggunakan “bahasa laki-laki”) yang memposisikan perempuan sebagai obyek (lebih khusus lagi sebagai obyeks seks), telah “memformat” otak khalayak sehingga stereotype bahwa perempuan adalah “makhluk domestic” semakin kukuh mencengkeram keyakinan masyarakat. Betapa tidak, bahasa yang digunakan dalam suguhan iklan seperti yang termuat dalam media elektronik maupun media cetak sering memuat iklan yang memuat stereotip jender (gender stereptyped advertising).

Sekedar contoh dapat dikemukakan bahwa di media elektronik seperti televisi atau radio maupun di media cetak seperti tabloid Nova banyak iklan yang mempromosikan berbagai produk keperluan rumah tangga seperti zat pembersih lantai, pembasmi serangga, sabun cuci, sabun mandi, bumbu masak, minyak goreng, mesin cuci dan semacamnya yang cenderung menampilkan sosok perempuan dalam peran sebagai ibu rumah tangga (domestic sphere). Bahasa yang digunakan dipilih bahasa yang mendukung terhadap proses pelestarian / pengabadian peran domestic tersebut. Seperti perempuan yang sukses adalah perempuan yang pandai menyenangkan suami dengan suguhan masakannya yang lezat.

Jujur saja, sesungguhnya sangat tidak arif kalau kita akhirnya meyalahkan media massa sebagai penyebab adanya ketidakadilan terhadap perempuan, sebab walau bagaimanapun juga media adalah cerminan dari realitas social yang ada di sekitarnya. Sekarang yang penting untuk dilakukan yaitu segera mencari solusi dengan bahasa yang lebih memberdayakan, memanusiawikan, mencerahkan, mengangkat martabat perempuan dengan sebenar-benarnya. Bukan saja pada tataran bahasa yang ada di media massa, tetapi juga pada level agen sosialisasi yang telah disebutkan sebelumnya.

D. MENSOSIALISASIKAN BAHASA, MENGHINDARKAN BIAS : SEBUAH SOLUSI ALTERNATIF

Jika sosialisasi bahasa yang menyebabkan terjadinya bias dimulai dari rumah atau keluarga, maka tidak salah juga kalau menghindarkan bias berbahasa dimulai dari keluarga juga. Orang tua sebagai pendidik utama dan pertama berperan di dalam mensosialisasikan bahasa dengan menghindarkan bias. Bahasa dapat dipelajari dan dapat diubah sesuai dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, tergantung kepada kedua orang tua (laki-laki dan perempuan) untuk mengadakan perubahan, bekerjasama mensosialisasikan bahasa yang adil jender.

Agar terhindar dari bias, kiat dari Maftuchah Yusuf[19] dapat dijadikan sebagai salah satu solusi. Dia berpendapat bahwa :

Dalam pendidikan keluarga perlu dilatih bahwa suami dan istri secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap jalan berputarnya rodakehidupan keluarga. Harus dilatihkan bahwa pekerjaan dalam rumah tangga seperti mencuci, memasak dan membesarkan anak adalah tugas kewajiban ayah dan ibu. Pendidikan dalam keluargayang membebaskan anak laki-laki dari tugas kerumahtanggaan adalah tidak betul. Jangan mendidik anak laki-laki menjadi orang yang perlu dilayani, diistimewakan dan dimanja. Jangan didik anak gadis untuk selalu mengalah, berkorban dan melupakan hak wewenangnya.

Tidak kalah pentingnya, orang tua perlu menasehati anak laki-laki dan perempuan untuk sama-sama menjaga diri dari perbuatan amoral. Terjadinya korban perkosaan atau pelecehan seksual lainnya tidak semata-mata salahnya perempuan. Bahkan sangat boleh jadi laki-laki itulah yang bersalah karena tidak sanggup menahan diri untuk melakukan hal-hal yang amoral tersebut.

Mensosialisasikan bahasa yang adil jender, dapat juga ditempuh dengan mengevaluasi kembali bahan ajar yang berlaku di lembaga pendidikan. Penggunaan kamus bahasa Indonesia yang masih menerjemahkan istilah “pelacur” sebagai “perempuan yang melacur, sundal atau wanita tuna susila” sudah saatnya direvisi. Saat ini sudah banyak perempuan yang ahli bahasa, khususnya ahli bahasa Indonesia. Mereka haruslah orang yang memiliki kesadaran gender (gender awarness) dan diberi kesempatan untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan jenis kelamin laki-laki merumuskan kembali bahan ajar yang diberlakukan di lembaga pendidikan, seperti bahan ajar yang berupa kamus, atau bahan ajar lainnya seperti bahan ajar untuk bahasa Indonesia, bahasa Arab, atau bahasa Inggris. Diperlukan semacam “Badan Sensor Bahan Ajar” untuk menyeleksi apakah bahan ajar yang akan dicetak dan diterbitkan oleh sebuah lembaga percetakan atau penerbitan sudah memiliki sensivitas jender atau belum .

Senada dengan berdirinya lembaga di atas, untuk memantau pemberitaan di media massa agar tidak merugikan kaum perempuan, maka diperlukan lembaga Pemantau Media (Media Watch) sebagai sebuah lembaga counter terhadap media mainstream.

Mudah-mudahan solusi alternative ini dapat meminimalisir atau menghilangkan bias bahasa yang telah menghegemoni berbagai level agen sosialisasi. Akhirnya hanya kepada Allahlah, kami bertawakkal.



End Notes

[1] Ieke Sartika Iriany. 2000. Dukungan Lingkungan Sosial terhadap Aktivitas Peran Ganda Perempuan Kelas Menengah Etnis Sunda (Studi Kasus di Kabupaten Garut). Disertasi Pascasarjana UNPAD Bandung

[2] Karlina Leksono – Supelli. 1998. “Bahasa untuk Perempuan : Dunia Tersempitkan”, dalam Wanita dan Media..Bandung : Remaja Rosdakarya h. 203

[3] Karlina Leksono- Supelli. Ibid. h. 203

[4] Tim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, h. 484

[5] Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia, h. 2

[6] Nasaruddin Umar. 1999. Jender dan Kepemimpinan. Makalah yang disampaikan pada acara Workshop Nasional “Analisis Jender”, berlangsung antara tanggal 29 Agustus sampai dengan 18 September 1999 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

[7] Idi Subandy Ibrahim dan Hanif Suranto. 1998. “Wanita, Media, Mitos dan Kekuasaan” dalam Wanita dan Media. (Pengantar Editor). Bandung : remaja Rosdakarya, h. xxxvii

[8] Kamanto Sunarto. 2000. Sosiologi. Edisi Kedua. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, h. 26

[9] Emory S Bogardus. 1954. Sociology. New York : The Macmillan Company, h. 57

[10] William J. Goode. 1995. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bumi Aksara, h. 20

[11] Paulus Wirutomo. 1994. Sosialisasi dalam Keluarga Indonesia, Suatu Perspektif Perubahan Sosial, dalam Prisma no. 6. Edisi Juni, h. 11

[12] Harsojo dalam Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan, h 308

[13] Havighurst dan Neugarten dalam St. Vembriarto. 1990. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta : Andi Offset, h. 57

[14] Susmanto, Daryo “” Isu Gender dalam Bahan Ajar” Pikiran Rakyat, 19 Desember 2003 Jakarta.

[15] . Tim Aksara Utama “ Aku Bangga Berbahasa Indonesia 3B” Jakarta, Yudhistira, 2002 h. 29 & 37

[16] Departemen Pendidkan dan Kebudayaan “English for The SLTA” Book I, Jakarta, Balai Pustaka, h.69 & 70

[17] Nasaruddin Umar “Argumen Kesetaraan Jender “ Jakarta, Paramadina, 1999, h. 265 - 299

[18] Jun Kuncoro. 1998. “Bahasa Media Massa Masih Mendiskriminasikan Wanita” dalam Wanita dan Media. Bandung : Remaja Rosdakarya, h. 217

[19] Maftuchah Yusuf. 2000. Perempuan, Agama dan Pembangunan. Yogyakarta : Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan, h. 53