LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU
MAKALAH
Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur
Pada Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. H. Jamali Syahrodi, M.Ag
Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505910045
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Menurut Abuddin Nata (2004:50), salah satu kekeliruan kebijakan pendidikan Nasional yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya lembaga pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Nasional. Sekilas ketika kita berbicara masalah peningkatan mutu pendidikan seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah. Lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah, pondok pesantren maupun sekolah Islam masih dipandang sebelah mata dan kurang diperhitungkan.
Tidaklah mengherankan bila muncul di masyarakat stereotyping, bahwa pendidikan Islam selalu diasosiasikan dengan lembaga pendidikan terbelakang, kurang bermutu serta tidak menghasilkan lulusan (educational output) yang memadai dan tidak memiliki kemampuan komprehensif-kompetitif terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. (Fahrurrozi, From: http://www.msi-uii.net .,akses, Sabtu, 7/6/2008, jam 11.27).
Secara sederhana bisa kita lihat dari rendahnya minat para orang tua untuk menyerahkan masa depan pendidikan anak-anaknya ke madrasah atau pesantren (notabane Islam). Biasanya mereka tidak menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai alternatif utama untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Kalaupun akhirnya mereka masuk bersekolah di madrasah, pesantren ataupun sekolah Islam biasanya itu dilakukan karena terpaksa (karena tidak lulus di sekolah umum, misalnya) (Abuddin Nata, 2001).
Lembaga pendidikan Islam (pesantren, madrasah) saat ini, mulai nampak melakukan perubahan dan memformulasikan pendidikan yang lebih baik lagi. Dengan banyaknya menggunakan sistem pendidikan yang mengadopsi sistem modern dan menempatkan pendidikan Islam sebagai filosofis ilmu yang utama menjadikan lembaga pendidikan Islam akan lebih maju dan berkembang atau dikenal dengan istilah “terpadu”. (Depag RI, 2004:163).
Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan Islam di Indonesia memang begitu dilematis. Artinya di satu sisi, tuntutan untuk meningkatkan mutu dan kualitas agar dapat bersaing dengan lembaga pendidikan umum, di sisi lain perhatian dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam masih rendah bahkan masih ditempatkan bukan sebagai kelas utama (the first class) melainkan sebagai kelas kedua (the second class).
BAB II
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU
A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam Terpadu
1. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga Pendidikan Islam merupakan sebagai wadah untuk menggembleng mental, moral dan spiritual generasi muda dan anak-anak untuk dipersiapkan menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Lembaga pendidikan Islam yang dalam hal ini dapat diwakili oleh pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Ketiga institusi pendidikan di atas memiliki nama yang berbeda, akan tetapi memiliki pemahaman yang sama baik secara fungsional dan substansional. Secara fungsional ketiga lembaga pendidikan tersebut. Sedangkan secara substansial dapat dikatakan bahwa ketiga institusi tersebut merupakan panggilan jiwa spiritual seorang kyai, ustadz, guru yang tidak semata-mata didasari oleh motif materiil, tetapi sebagai pengabdian kepada Allah (Husni Rahimi, 2004).
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang diungkapkan oleh Al-Ghozali yaitu mendekatkan diri kepada Allah, bukan semata-mata untuk pangkat maupun bermegah-megahan (Ihsan: 2008).
2. Pengertian Terpadu dalam Lembaga Pendidikan Islam
Terpadu merupakan keterkaitan beberapa sistem dalam pendidikan yang dapat diterapkan, mulai dari visi-misi, kurikulum, manajemen dan jaringan pendidikan yang dapat mengembangkan dan memajukan lembaga pendidikan Islam secara baik.
Konsep terpadu menurut Rachmat Syarifudin (2007). Pertama, keterpaduan antara orang tua dan guru dalam membimbing anaknya. Kedua, keterpaduan dalam kurikulum Ketiga, keterpaduan dalam konsep pendidikan. Ada sinergi antara stakeholder yang terkait dengan pendidikan tersebut (Dikutip Rachmat Syarifudin, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com).
Terpadu sebenarnya memiliki arti yang sangat luas mulai dari kurikulumnya, pembelajaranya, lingkungan sekolah yang memadukan dengan masyarakat, orang tuadan sebagainya. Banyak sekali orang yang melihat sekolah Islam terpadu begitu diminati sehingga beberapa orang berminat untuk mendirikan sekolah Islam terpadu tersebut.
Keterkaitan kata “terpadu” dengan lembaga pendidikan Islam adalah bagaimana institutsi mampu memberikan pendidikan sesuai dengan fitrah manusia, prinsip keseimbangan misi kepemimpinan dan mengajak manusia kepada cahaya Illahi, sehingga mampu menciptakan sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlakul karimah, berkualitas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dan mampu bersaing dalam menghadapi tantangan masa depan. Dengan konsep lembaga pendidikan Islam Terpadu, berusaha menjadikan pendidikan sebagai proses untuk menginternalisasikan nilai-nilai (konsep) dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Depag RI, 2004).
Untuk memperjelas ketiga lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Karena ketiga lembaga pendidikan tersebut setidaknya masih eksis di Indonesia.
1. Pesantren.
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia, khususnya Jawa, pesantren memiliki keunikan tersendiri yang tidak dapat ditemui dalam sejarah peradaban Timur Tengah sekalipun. Menurut Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama (pondok).(Hamidah, From: http://hildaku.blog.com/614889 diakses Jum’at 6/6/2008 jam 11.23).
Menurut Azra (2005) sejak digulirkannya kebijakan tersebut pesantren berkembang menjadi lembaga yang tidak saja mencakup dengan pendalaman masalah agama (tafaqquh fid-din) dan madrasah tetapi juga pendidikan umum. Bahkan, pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat. Pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan; sejak 1980-an, banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan. Semua itu juga, yang membuat anak-anak lulusan pesantren, sejak 1980-an mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara; tidak hanya di negara-negara Timur Tengah, namun juga di negara-negara Barat. Mereka ini pada gilirannya memperkaya dan memperkuat generasi baru kaum terpelajar dan intelektual Muslim di Indonesia (Republika, Kamis, 22 Desember 2005 dalam http://ubed-centre.blogspot.com akses Senin 16/6/2008).
Pada awal era reformasi pesantren mengalami peningkatan dan mendapatkan perhatian yang baik dari pemeritah sehingga beberapa pesantren mendapatkan ekuivalensi dengan sekolah umum diakui seperti ditegaskan UU Sisdiknas 1989 sebagaimana juga kemudian masih termuat dalam UU Sisdiknas 2003. Pengakuan pendidikan pesantren dengan pendidikan pada umumnya. Namun semenjak tragedi 11 September 2001, image pesantren mulai “tercoreng”. Amerika yang secara gencarnya memerangi terorisme, dengan slogan ‘are you with us or with them-terrorist’ terlebih-lebih lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam, seperti madrasah dan belakangan juga pesantren dianggap kalangan Barat tertentu sebagai the breeding ground, tempat perkecambahan radikalisme (Badrun. http://ubed-centre.blogspot.com akses Senin 16/6/2008).
Pesantren dan umat Islam kembali termarjinalkan sebagai warga negara. Mereka tercitrakan sebagai ‘tertuduh’ dalam berbagai kasus kekerasan di tanah air hanya dikarenakan beberapa oknum pelaku teroris merupakan alumnus pesantren. (Hamidah From: hildaku. blog. Senin 16/6/2008).
2. Madrasah Model dan Terpadu
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting selain pesantren. Keberadaaanya begitu penting dalam upaya meningkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan menciptakan kader-kader bangsa yang memiliki wawasan keislaman dan nasionalisme yang tinggi. Madrasah berupaya mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Menyeimbangkan keduanya untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Q.S. (Al-Qasas (28): 77.
Di Indonesia, permulaan munculnya madrasah baru terjadi sekitar abad ke-20. Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah (Maksum, 1999).
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan madrasah mengalami perubahan tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan Islam pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum dan metode yang digunakan tidak lagi dengan metode sorogan atau bandongan, melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model klasikal.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda di banding pesantren, ia lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah manba’ul ulum kerajaan surakarta tahun 1905 dan sekolah adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909 (Malik Fajar, 1998).
Madrasah memiliki metode pengajaran seperti hafalan, latihan dan praktek. Ini kielanjutan dari masa Rasulullah SAW. Terutama ketika beliau memberikan pelajaran al-Qur’an, pada masa perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di Madrasah menggunakan metode talqin, dimana guru mendikte dan murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hfalan guru lalu menjelaskan maksudnya.metode ini oleh maksidi disebut sebagai metode tradisional; murid mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan setelah itu berusaha memahami arti danmksud pelajaran yang diberikan (Depag RI, 2004:67). Pada perkembangan selanjutnya pendidikan madrasah dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah.
Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diformulasikan untuk meningkatkan kualitas bidang sains dan matematika (Depag RI, 2004:160). Menurut Husni Rahim (2004), dengan merujuk pada hasil laporan yang berjudul “bekerja bersama madrasah membangun model pendidikan di Indonesia” menyebutkan sekurang-kurangnya ada bentuk keberhasilan program masrasah model tersebut, yaitu: (1). Terjadinya peningkatan kualitas guru melalui berbagai program pendidikan (seperti S2 dan S3) dan program pelatihan, (2). Meningkatkan mutu lulusan pendidikan madrasah yang tampak dengan kecilnya kesenjangan prestasi siswa madrasah dengan sekolah umum., (3). Meningkatnya animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke madrasah seiring dengan meningkatnya daya tampung madrasah, (4). Mulai terbentuknya networking antara madrasah dengan berbagai perguruan tinggi, khususnya dengan STAIN, IAIN, dan UIN dan perguruan tinggi agama lainya.
Madrasah Terpadu adalah sebuah konsep pengembangan madrasah yang mencoba mensinergikan berbagai potensi kekuatan MI, MTs dan MA yan berada dalam satu lokasi untuk membantu, saling mengisi kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan madrasah (Depag RI, 2004:162).
3. Sekolah Islam Terpadu
Sejak awal abad ke-20 gagasan modernisasi Islam menemukan momentum. Pendidikan direalisasikan dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan modern. Gagasan tersebut menuntut adanya modernisasi sistem pendidikan Islam. Perkembangan mencolok terjadi pada tahun 90an adalah munculnya sekolah-sekolah Islam elite Muslim yang dikenal sebagai ”sekolah Islam”. Sekolah-sekolah itu mulai menyatakan diri secara formal dan diakui oleh kalangan Muslim sebagai “sekolah unggulan” atau sekolah Islam unggulan. Sekolah Islam unggulan tersebut seakan menjawab tuntutan modernisasi pendidikan Islam (http://digilib.itb.ac.id/gdl.php. akses Jum’at 6/6/2008).
Sekolah-sekolah tersebut dapat dikatakan sebagai sekolah “elite” Islam dikarenakan beberapa hal yang mendasarinya. Menurut Sanaky (2003), alasan yang melatar belakangi sekolah-sekolah tersebut bersifat elite antara lain dari segi akademis. Dalam beberapa kasus, hanya siswa-siswa yang terbaik saja yang dapat diterima. Sedangkan tenaga pengajar (guru) yang mengajar pun hanyalah mereka yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan melalui seleksi yang kompetitif. Sekolah-sekolah tersebut dikelola oleh manajemen yang baik dengan berbagai fasilitas yang memadai dan lengkap seperti perpustakaan, ruang komputer, masjid dan sarana olah raga.
Sedangkan menurut Alaydroes, sekolah Islam termasuk sekolah Islam terpadu, memasukkan nilai-nilai Islam dari berbagai saluran. Baik saluran formal dalam arti pembelajaran agama, dan semua mata pelajaran yang bernuansa islami, apakah itu PMP, itu semua harus dikaitkan dengan nilai-nilai spritual, nilai-nilai Illahiah. Kemudian yang kedua, merekrut guru-guru yang punya visi dan ideologi yang sama, mereka tidak diperkenankan merokok, berakhlak karimah, dan bisa menjadi teladan. Selain itu, perilaku ibadah anak-anak juga dibentuk, lewat sholatnya atau doa-doanya dan diupayakan untuk mengikuti sunnah. (Alaydroes, http://www.pks-anz.org/pkspedia/index.php, akses Jum’at 6/6/2008).
Dari perkembangan sekolah-sekolah ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan para ahli pendidikan mulai percaya akan kualitas yang ditawarkan oleh sekolah “elite”, “unggulan”. Sehingga ke depan perbedaan (dikotomi) antara pendidikan Islam dan pendidikan umum dalam konfigurasi pendidikan nasional harus dipersempit. Pendidikan Islam harus diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan yang seimbang untuk mewujudkan pendidikan bermutu sejajar dengan pendidikan umum.
Sekolah Islam terpadu digagas karena melihat kejengahan sekolah-sekolah nasional yang mendidik anak sekuleristik dengan memisahkan kehidupan keagamaan dan kehidupan sosial bermasyarakat. Kemudian ada beberapa sekolah Islam yang juga bagin dari sekuleristik yang sangat fokus terus di ibadah-ibadah mahdloh sehingga mengabaikan sehi ilmu pengetahuan. Ini berdampak pada umat Islam yang semakin terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Guna menjaga mutu dankualitas sekolah Islam terpadu, sejumlah praktisi danpemerhati pendidikan Islam, membentuk sebuah wadah yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), dengan misi utamanya; Islami, efektif dan bermutu (Rachmat Syarifudin, “JSIT Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com).
B. Metode Lembaga Pendidikan Islam Terpadu
Berbicara tentang pendidikan Islam dan lembaga pendidikan Islam, agaknya sangat idealis dan utopis bila hanya berkutat pada persoalan fundasional filosofis, karena kegiatan pendidikan sangat concern terhadap persoalan-persoalan operasional. Di antara kelemahan dari kajian pendidikan Islam yang selama ini mewacana dalam berbagai literatur kependidikan Islam adalah mereka hanya kaya konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin dimensi operasional atau praktisnya, atau sebaliknya kaya praktik/operasional, tetapi lepas dari konsep fundasional dan dimensi teoritiknya (Abuddin Nata, 2004:51).
Untuk mencegah timbulnya kesenjangan sekaligus mencari titik temu dari persoalan tersebut, muncullah gagasan Pendidikan Islam Terpadu, sebuah model pendidikan yang didesain dengan segala keterpaduan dari berbagai sisi dan aspek pendidikan, yang meliputi visi, misi, kurikulum, pendidik, suasana pembelajaran, dan lain sebagainya. Sekolah Islam Terpadu sebagai bentuk satuan pendidikan pra-dasar, dasar, dan menegah memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun, membentuk, membina, dan mengarahkan anak didik menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki karakter dan kepribadian yang positif, manusia yang mampu memahami diri sendiri dan orang lain, manusia yang trampil hidupnya, manusia yang mandiri dan bertanggung jawab, dan manusia yang mau dan mampu berperan serta dan bekerja sama dengan orang lain.
Untuk itu Sekolah Islam Terpadu mencoba menerapkan sistem terpadu dengan penerapan program full day school. Yang dimaksud program terpadu adalah program yang memadukan antara program pendidikan umum dan pendidikan agama, antara pengembangan potensi intelektual (fikriyah), emosional (ruhiyah) dan fisik (jasadiyah), dan antara sekolah, orang tua dan masyarakat sebagai pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan.
Pemaduan program pendidikan umum dan agama dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif artinya porsi program pendidikan umum dan program pendidikan agama diberikan secara seimbang. Sedang secara kualitatif berarti pendidikan umum diperkaya dengan nilai-nilai agama dan pendidikan agama diperkaya dengan muatan-muatan yang ada dalam pendidikan umum. Nilai-nilai agama memberikan makna dan semangat (ruh) terhadap program pendidikan umum. Potensi dasar (fithrah) manusia seperti ; potensi intelektual (fikriyah), emosional (ruhiyah), dan fisik (jasadiyah) merupakan anugerah dari Allah yang perlu ditumbuhkan, dikembangkan, dibina, dan diarahkan dengan baik, benar dan seimbang. Program pendidikan terpadu diharapkan menjadi salah satu sarana untuk menumbuhkan, mengembangkan, membina, dan mengarahkan potensi-potensi dasar yangdimiliki anak didik. (Ahmad azies. http://alfauzi.blogspot.com/2008/02/metode-pengembangan-pendidikan-afektif.html. Kamis, 07 Februari 2008.
Berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah, dan masyarakat, sekolah sebagai sebuah institusi adalah pelaksana langsung proses pendidikan, sedang orang tua dan masyarakat sebagai pihak pengguna dan penikmat hasil pendidikan perlu diberdayakan. Pemberdayaan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan dititik beratkan pada peran serta mereka dalam penyamaan perlakuan terhadap anak didik serta dalam jalannya proses pendidikan.
Mereka bisa menjadi fasilitator, evaluator, donatur bahkan menjadi sumber belajar. Program pendidikan terpadu menjadi salah satu wahana untuk mengoptimalkan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Dengan demikian Sekolah Islam Terpadu bertolak dari visi yang dibangun atas dasar keyakinan, bahwa proses pendidikan bertolak dari dan menuju fitrah manusia yang hakiki sebagai hamba Allah. Dalam arti pendidikan merupakan proses pencarian jati diri manusia dan proses memanusiakan manusia. Pendidikan membangun kesadaran kepada manusia tentang; siapa yang menjadikan manusia itu ada, dari mana manusia itu berasal, dan apa tugas manusia di bumi ini? Dalam proses pendidikan manusia diposisikan dan diperlakukan sebagai manusia, yang memiliki potensi, ciri dan karakteristik yang unik. Maka dalam proses memanusiakan manusia itu harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, Rabb yang menjadikan manusia itu ada dan sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.
Dalam mencapai visi tersebut, Pendidikan di Sekolah Islam Terpadu mengemban misi menjadi wahana konservasi nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa, diajarkan, dan dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Menjadi wahana dalam membangun, menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, membina, dan mengarahkan potensi dasar (fithrah) anak didik. Menjadi mediator dalam menghantarkan anak didik memasuki zaman, sejarah, dan tantangan yang akan dihadapinya. Dengan tujuan menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, dan mengarahkan anak didik menjadi hamba Allah yang shaleh secara individual dan sosial, serta memberikan kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap terpuji sesuai usia perkembangannya sebagai bekal hidup dan kehidupannya.
C. Materi Lembaga Pendidikan Islam
Sejalan dengan visi, misi, dan tujuan yang dipaparkan di atas, Sekolah Islam Terpadu dirancang dengan sistem terpadu yang memungkinkan siswa mengembangkan potensi dasarnya secara terpadu, terus menerus dan berkesinambungan. Guru tidak hanya berperan sebagi pengajar (mudarris), tetapi juga sebagai pendidik (murabbi) setia yang memahami perkembangan siswa. Guru dituntut menjadi sumber keteladanan yang nyata bagi siswa.
Lingkungan pendidikan dirancang sebagai masyarakat belajar (learning society) sehingga siswa berinteraksi secara simbiosis mutualistik; saling mengingatkan (taushiah bil haq wa shabr), siap menjadi pelajar dan sekaligus menjadi pengajar. Proses pendidikan senantiasa diwarnai nuansa-nuansa religius sehingga membentuk karakter keberagamaan yang baik. Hal ini tidak terlepas dari optimalisasi fungsi masjid/mushala sekolah sebagai media dan sentra kegiatan siswa. Pengembangan pendidikan emosional anak dilakukan secara konseptual melibatkan pengalaman langsung tentang apa yang sedang diajarkan . Orang tua juga diikutsertakan secara aktif dalam membantu penyelenggaraan pendidikan. Mereka berperan sebagai partner dalam penyelenggaraan pendidikan. Orang tua dapat menciptakan dan menerapkan kebiasaan misalnya hal-hal yang bersifat spiritual- dalam berbagai rutinitas kehidupan sehari-hari. Orang tua secara spontan bisa mengingatkan untuk berdo’a sesuai dengan yang telah diajarkan di sekolah- dalam berbagai tindakan anak. (Ahmad azies. http://alfauzi.blogspot.com/2008/02/metode-pengembangan-pendidikan-afektif.html. Kamis, 07 Februari 2008.)
Tentu saja dalam melaksanakan program besar ini peran serta orang tua siswa didik menjadi sangat penting, berangkat dari asumsi bahwa pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah, dan masyarakat. Orang tua sebagai pihak pengguna dan penikmat hasil pendidikan memiliki tugas yang sama dalam mendidik anak. Sekolah dan orang tua melakukan penyelarasan visi, misi, strategi, tujuan dan sasaran pendidikan. Hubungan antar keduanya bersifat mutualistik untuk mewujudkan kerjasama yang produktif, saling pengertian dan atas dasar pembagian wilayah kerja. Media untuk menjembatani terciptanya hubungan tersebut adalah Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan/BP3(JulHasratman,http://julhasratman.blogspot.com/2009/05/peran-lembaga-pendidikan-islam.htm. Jumat, 15 Mei 2009.
Melalui BP3, orang tua murid dapat memainkan peran dalam membantu kelancaran proses pendidikan, memberikan masukan, saran, tanggapan, gagasan dan melakukan evaluasi terhadap jalannya proses pendidikan. BP3 merupakan bagian integral dari struktur lembaga pendidikan(LutfiIndriyantohttp://www.smpit-albayyinah.com/?p=229#more-229).
Demikianlah dengan segenap keterpaduannya, Pendidikan Islam di Sekolah Islam Terpadu menawarkan berbagai nilai lebih yang bisa diperoleh diantaranya adalah: siswa mendapatkan pendidikan umum yang penuh dengan nuansa keislaman, siswa mendapatkan pendidikan agama Islam secara aplikatif dan teoritis, siswa mendapatkan pendidikan dan bimbingan ibadah praktis (doa, shalat dan dzikir, cara makan/minum, dan lain-lain), siswa mendapat pelajaran dan bimbingan cara baca dan menghapal al-Qur’an (tahfizh) secara tartil, siswa dapat menyalurkan potensi dirinya melalui kegiatan ekstra kurikuler, perkembangan bakat, minat, dan kecerdasan siswa diantisipasi sejak dini, pengaruh negatif dari luar sekolah dapat diminimalisir, bagi orang tua yang sibuk Sekolah Islam Terpadu, dengan model full day school-merupakan solusi untuk pembinaan kepribadian putra-putrinya, siswa mendapatkan pendidikan bagaimana cara hidup bersama dengan teman, dan nilai-nilai positif lainnya . Selain itu siswa didik akan belajar tentang kecakapan hidup (life skill) yang memberikannya tumbuh akan kesadaran diri (self awareness), trampil berpikir (thinking skill) dan bersosialisasi diri (social skill).
D. Kurikulum Lembaga Pendidikan Islam Terpadu
Menurut Muhaimin (2007), pelaksanaan pemaduan sistem pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, dengan fokus pada pemaduan kurikulum madrasah dengan kurikulum pendidikan keterampilan, dalam upaya pengembangan bakat dan minat yang dilakukan kebanyakan lembaga pendidikan Islam Terpadu (pesantren, madrasah dan sekolah Islam). Secara rinci permasalahan yang diajukan adalah bagaimana: (1) Gambaran umum Pondok, (2) Faktor dominan yang melatarbelakangi pemaduan, (3) bentuk keterpaduan program pendidikan, (4) Keterpaduan kurikulum pendidikan yang diterapkan, (5) Peran program pemaduan dalam rangka pembinaan bakat dan minat santri, (6) Dampak pemaduan terhadap dunia kewirausahaan, (7) Faktor-faktor penghambat dan pendukung upaya pemaduan, dan (8) Upaya-upaya dalam mengatasi hambatan. Tujuan penelitian untuk memperoleh data obyektif, mendalam, dan komprehensif tentang keterpaduan sistem pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, dalam hal ini keterpaduan kurikulum pendidikan madrasah dan kurikulum pendidikan keterampilan, dalam upaya pengembangan bakat dan minat santri (Prima Remolda. http://primaremolda.blogspot.com/2009/03/reposisi-kurikulum-islam terpadu_1726.html. Monday, March 9, 2009).
Misi utama lembaga pendidikan Islam Terpadu adalah membangkitkan kesadaran umat islam akan pentingnya generasi muda yang berkualitas tinggi dan berjiwa islami, menggelorakan syiar islam, dan turut mensukseskan wajib belajar. Sejalan dengan itu, visi utamanya adalah mencetak Generasi Muda Muslim Rabbani untuk menyiapkan dan menata kehidupan islami yang harmonis. Untuk itu, dikembangkan tiga program utama, yaitu program transformasi ilmu pengetahuan dan bahasa, penanaman nilai-nilai Islam dan akhlaqul karimah, serta program dakwah dan pengarah masyarakat menuju kehidupan yang diridhloi Allah SWT., yang selanjutnya dijabarkan dalam lima jalur program pembinaan pendidikan, yaitu program pembinaan pendidikan persekolahan (madrasah), pendidikan keagamaan, pendidikan bahasa, pendidikan umum, dan pendidikan keterampilan, sebagai satu kesatuan.
Pemaduan antara pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah telah banyak ditawarkan para ahli, salah satunya adalah model terpadu (integrated), dimana kedua jalur pendidikan tersebut digabungkan ke dalam satu sistem pendidikan terpadu, meliputi pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta komponen-komponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan terpadu umumnya dapat menjangkau sasaran populasi pendidikan yang lebih luas, lebih fleksibel, berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan. (D. Sudjana, 1996:101). Pondok pesantren dikatakan terpadu apa bila dalam keseluruhan pembinaan terhadap para santri telah memadukan tradisi pesantren dengan sistem pendidikan lainnya, sedang bila ditinjau dari fasilitasnya minimal terdiri dari Mesjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah (Sudjoko Prasodjo, 1994:24).
Pada akhirnya disimpulkan bahwa pemaduan sistem pendidikan sekolah (kurikulum madrasah) dan pendidikan luar sekolah (kurikulum pendidikan keterampilan) dalam upaya pembinaan bakat dan minat santri telah direncanakan secara sistematis dan terprogram, serta dilakukan secara terintegrasi melalui berbagai program yang dikembangkan. Namun, karena berbagai faktor, baik yang sifatnya internal maupun eksternal, hasilnya masih belum maksimal sesuai yang diharapkan. Untuk itu drekomendasikan perlunya penerapan manajemen pondok yang profesional, pemberdayaan potensi pondok melalui kerja sama sinergik dengan isntansi atau lembaga lain, penyediaan program pendidikan keterampilan yang bervariasi sesuai bakat dan minat santri sesuai hasil identifikasi dan dilaksanakan secara intensif, sehingga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan ke-Islaman mampu terus mempertahankan eksistensinya dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat sesuai perubahan zaman.
E. Lingkungan Pendukung Lembaga Pendidikan Islam Terpadu
Menurut Abuddin Nata (2004), mengatakan meraih prestasi tidaklah semudah mempertahankan dan meningkatkannya. Untuk itu, lembaga pendidikan Islam diharapkan agar tetap stabil dalam menjalankan fungsi dan tujuannya, baik dalam hal manajemen maupun muatan yang diajarkan di dalamnya. Agar tetap berperan strategis dalam pendidikan nasional, ada beberapa hal yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan oleh lembaga pendidikan Islam sebagai berikut :
Pertama, Lembaga Pendidikan Islam harus mampu mempertahankan dan meningkatkan ciri atau karakter keislaman di dalamnya. Nuansa dan nilai-nilai islami yang terpraktekkan dalam kehidupan sehari-hari para siswanya adalah hal yang diutamakan daripada hanya sekadar pengetahuan keislaman sebatas teoritis belaka.
Kedua, Lembaga Pendidikan Islam harus mampu mempertahankan dan meningkatkan ciri unggulan yang melekat pada dirinya atau ‘imej tampil beda’, apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan umum misalnya dalam hal keilmuan (bimbingan plus IPTEK, laboratorium alam, bimbingan intensif bekerjasama dengan bimbel terkemuka), dalam hal keterampilan (komputer, beladiri, seni islami, teknologi tepat guna, usaha kecil, kepanduan, dan lain-lain), atau dalam hal interaksi sosial.
Ketiga, Lembaga pendidikan Islam harus mampu meningkatkan kemampuan dalam pola manajeman dan muatan kurikulum, siswa baru yang diseleksi ketat, staf pengajar dan karyawan yang berkualitas, kendali kualitas (quality control) terhadap lulusan, serta sarana dan prasarana yang lengkap.
Keempat, Lembaga pendidikan Islam harus gencar untuk ‘unjuk gigi’ pada setiap kesempatan yang ada agar semakin dikenal dan dipercaya oleh orangtua dalam menitipkan masa depan anak-anaknya. Peluang-peluang besar bagi lembaga pendidikan Islam untuk menjadi lembaga pendidikan teratas di Indonesia adalah keniscayaan, setidaknya peluang itu dapat dilihat dari jumlah penduduk negeri ini yang menganut agama Islam.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis menarik suatu kesimpulan bahwa lembaga pendidikan Islam bukanlah lembaga pendidikan nomor dua dalam sistem pendidikan nasional. Lembaga pendidikan Islam adalah sejajar dengan lembaga pendidikan umum bahkan telah selangkah lebih baik dari lembaga pendidikan umum. Hal itu dapat tetap terjamin apabila kenyataan hari ini dijadikan sebagai faktor pemicu untuk terus berbuat lebih baik dalam meningkatkan kualitas pendidikan di lembaga pendidikan Islam, sehingga peranannya dalam kemajuan pendidikan nasional akan semakin nyata dan dirasakan lebih dekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Keterpaduan Pendidikan Sekolah, Keluarga dan Masyarakat
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Sinergi negatif antar ketiganya, memberikan pengaruh kualitas proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya minimasi pengaruh negatif yang ada dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam. Selanjutnya, dibuka lebar ruang interaksi dengan keluarga dan masyarakat agar dapat berperan optimal dalam menunjang proses pendidikan. Sinergi pengaruh positif dari faktor pendidikan sekolah-keluarga-masyarakat inilah yang akan menjadikan pribadi anak didik yang utuh sesuai dengan kehendak Islam.
2. Keterpaduan Sekolah, Asrama/Pesantren dan Masjid
Untuk meciptakan kultur sekolah yang bersih dari pengaruh negatif masyarakat, program full-day school dan boarding school merupakan alternatif yang dapat dilakukan. Karena itu, tiga poros sekolah, asrama/pesantren dan masjid yang berperan penting dalam pengembangan SDM tapi selama ini terpisah-pisah, harus dapat diharmonisasikan. Sekolah berfungsi untuk mengintroduksikan kurikulum pendidikan secara formal sesuai dengan jenjang yang ada. Asrama merupakan sarana di luar sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pendidikan formal. Sikap disiplin, kemandirian, kepemimpinan dan tanggung jawab dapat diciptakan dalam asrama. Sedangkan masjid merupakan pusat kegiatan keislaman siswa. Di masjid, siswa akan melakukan shalat berjamaah, pembinaan kepribadian dan kegiatan lainnya. Jika ketiganya diintegrasikan, diharapkan akan tercipta budaya sekolah yang ideal.
BAB III
PENUTUP
Sebagai sejarah perkembangan dan pertumbuhan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh adanya lembaga-lembaga pendidikan Islam (pesantren dan madrasah) yang amat bervariasi, namun kedua-duanya memiliki hubungan subtansial dan fungsional yang tidak bisa dipisahkan. Dinamika pertumbuhan dan perkembaanga lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut selain dipengaruhi oleh faktor internal dari para pendirinya, juga tidak lepas dari pengaruh eksternal yang bersifat global. Kedua pengaruh ini satu dan yang lainya secara akumulatif berpadu menjadi satu dan menghasilkan bentuk dan corak dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Secara faktual, pembenahan lembaga pendidikan Islam yang dilakukan mengalami perubahan secara terus menerus. Tentunya ini terjadi karena pengaruh yang amat kuat dari luar seperti; persaingan pendidikan formal dan globalisasi yang sangat dan menuntut adanya perubahan itu sendiri. Dengan konsep lembaga pendidikan Islam terpadu merupaka salah satu solusi yang alternatif agar mampu memberikan terobosan pendidikan Islam lebih maju dan kompetitif. Substansi lain,yang bisa menunjang lembaga pendidikan Islam terpadu adalah bagaimana lembaga pendidikan Islam dapat melibatkan tiga unsur pelaksana, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Kondisi faktual obyektif pendidikan saat ini, ketiga unsur pelaksana tersebut belum berjalan secara sinergis di samping masing-masing unsur tersebut juga belumlah berfungsi secara benar. Sinergi negatif antar ketiganya, memberikan pengaruh kualitas proses pendidikan secara keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Alaydroes, Fahmi. Liputan Media. From: http://www.pks-anz.org/pkspedia/index.php, akses Jum’at 6/6/2008).
Azra, Azyumardi dalam pengantar Abudin Nata (editor). (2001). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo.
Badrun, Ubedilah. Pesantren dan Kepemimpinan Nasional. From:http://ubed-centre.blogspot.com, akses 16/6/2008.
Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia, Jakarta: tahun 2004.
___________________ Madrasah Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika Dan Perkembangan Di Indonesia, Jakarta, Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: 2004.
Dhofier, Zamakhsyari. (1985). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta.
Fahrurozi. Resensi Buku: Menata Ulang Konsep dan Praktik Pendidikan Islam. From: http://www.MSI-UII.Net .,akses, Sabtu, 7/6/2008, jam 11.27.
Fajar, Malik. (1998) Madrasah dan Tantangan Modrnitas, Bandung: Mizan.
Hamidah,Kamila. Sejarah Pesantren dan Radikalisme Islam. http://hildaku.blog.com/ diakses Jum’at 6/6/2008 jam 11.23.
Hasbullah. (1996). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia LintasSejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ihsan, Hamdani & Fuad. (2007). Filsafat Pendidikan Islam.Bandung:Pustaka Setia.
Madjid, Nurcholis.(1997). Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Maksum. (1999). Madrasah; Sejarah dan Perkembanganya, Jakarta: logos.
Mastuhu. (1994). Dinamika System Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Muhaimin.(2003). Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam.Bandung: Nuansa.
Nata, Abuddin. (editor) (2001). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Grasindo.
____________. (2004). Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rahim, Husni dalam Departemen Agama “Anatomi Madrasah di Indonesia” makalah diseminarkan pada acara Rountable Discussion Masa Depan Madrasah yang diselenggarakan oleh INCIS pada tanggal 27 Juli 2004.
Republika, Kamis, 22 Desember 2005 dalam http://ubed-centre.blogspot.com akses Senin 16/6/2008).
Sanaky, Hujair AH. (2003). Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safira Insania Press.
Syarifudin, Rachmat. “Jaringan Sekolah Islam Terpadi (JSIT) Memberdayakan Sekolah-Sekolah Islam” copyright©2007 www.republika.com.
Umam, Khoirul. Madrasah dan Globalisasi. From: http://pendis.depag. go.id/madrasah/ akses Jum’at 6/6/2008).
Wahid, Abdurrahman .”Pendidikan Islam Harus Beragam”. Kedaulatan Rakyat 21 Desember 2002.
Zoher, Abdul Quddus. Menggagas dan mewujudkan Sekolah Unggul atau Sekolah Model (Upaya modernisasi sistem pendidikan Islam di Indonesia. From: http://digilib.itb.ac.id/gdl.php akses Jum’at 6/6/2008.
Zuhairini, dkk. (1997). Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php. akses Jum’at 6/6/2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar