Deding Sudarso Mei Maemunah Jannathan Syahru Sudarso Hajjan Jeanuarda Sudarso

Senin, 04 Januari 2010

PEMIKIRAN MISTISME : RABI’AH AL-ADAWIYAH

A. Pendahuluan
Mistisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut Sufisme. Kata sufisme dalam istilah orietalis Barat khusus dipakai untuk mistisme Islam. Sufisme tidak di pakai untuk mistisme yang terdapat dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisme diluar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubunga langsung dan disadari oleh Tuhan, sehingga didasari benar bahwa seseorang berada dihadirat Tuhan. Intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya harmonisasi dan dialog antara roh manusia denga Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk Ittihad ( الا تحاد ), bersatu dengan Tuhan.
Tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan, dan sebagai ilmu pengetahuan, taswuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Menurut Harun Nasution, tasawuf berasal dari sufi, yang secara etimologi mempunyai banyak teori, diantaranya :
Pertama, kata sufi diambil dari kata ahl-al-suffah yaitu orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Mekkah ke Madinah, dan mereka kehilangan harta, berada dalam keadaan miskin dan tidak mempunyai apa-apa. Mereka tinggal di Mesjid Nabi dan tidur diatas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal-bantal. Pelana disebut suffah. Meskipun miskin, ahl-suffah baik dan mulia. Serta tidak mementingkan keduniaan.
Kedua, sufi yaitu suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang yang telah mensucikan dirinya melalui latihan berat dan lama.
Ketiga, sufi yaitu kain yang dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah kain wol kasar dan bukan halus seperti sekarang.
Memakai wol kasar itu adalah simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya ialah memakai sutera, oleh orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera dan sebagai gantinya memakai kain wol kasar.
Dari teori di atas nampaknya tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan tidak mementingkan kehidupan dunia.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang sufi wanita yang terkenal dengan konsep ajarannya al-Mahabbah. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruh jiwa dan raganya, sehingga tidak ada cinta lain dalam hatinya selain cinta kepada Allah.

B. Riwayat Hidup Ra’biah al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Rabiah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qissiyah lahir di Basra (95H/713M – Yerusalem, 185H/801M), ia berasal dari keluarga miskin, ditinggal mati ayahnya selagi ia masih kanak-kanak, dan dirundung keprihatinan hidup pada masa remajanya.
Fariduddin Attar (513H/1119M – 627H/1230M), penyair mistik Persia, dalam melukiskan keprihatinan Rabiah, menulis bahwa ia dilahirkan dimana tidak ada sesuatu apapun untuk dimakan dan yang dapat dijual. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangannya telah habis.
Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh pejabat dan dijual dengan harga 6 dirham. Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang berat memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian, ia tabah menghadapi penderitaan, pada siang hari melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah SWT, mendambakan ridlo-Nya. Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela ia melihat cahaya terang di atas kepala Rabi’ah yang sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi perintahMu, jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentarpun dari mengabdi kepadaMu”. Menyaksikan peristiwa itu ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya, dan membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan Rabi’ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhlawat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan dunia.
Pada saat musim haji Rabi’ah menunaikan ibadah haji bersama Kabilah dan Basrah dengan mengendari keledai. Ditengah-tengah perjalanan keledai tersebut mati sehingga sebagian rombongan tersebut ada yang ingin menolongnya dengan berkata: “Biarlah kami yang membawa barang-barangmu”. Rabi’ah menjawab: “Teruskanlah perjalanan kalian, bukan tujuanku untuk memberi beban kepada kalian”. Maka berangkatlah orang-orang itu meninggalkan Rabi’ah seorang diri ditengah padang pasir. Disana ia mendahulukan kepadalnya sambil berdo’a: “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau yang memanggilku ke rumah-Mu (ka’bah), tetapi ditengah jalan engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri ditengah padang pasir ini”.
Setelah puas berdoa, maka nampak didepannya keledai mati itu bergerak kembali dan bangun, lalu diletakkannya barang-barangnya diatas punggung keledai tadi, kemudian melanjutkan perjalannya. Dalam perjalanan selanjutnya sebelum sampai ke Mekkah ia berhenti dan berseru kepada Allah: “Ya Allah, aku sudah letih, ke arah manakah yang haru dituju? Aku hanyalah debu diatas bumi ini dan rumah itu (ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakanlah wajah-Mu ditempat mulia ini”. Begitulah ia bedo’a sehingga tiba-tiba ia mendengar suara Allah Yang Maha Kuasa berfirman langsung di dalam hatinya tanpa ada lagi jarak “Wahai Rabi’ah …” Ketika Musa ingin sekali melihat wajahKu, aku hancurkan gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong, tetaplah berada disitu dengan namaKu”.
Pengelaman berhaji menjadikan Rabi’ah al-Adawiyah lebih giat beribadah, Rabi’ah al-Adawiyah telah menjadi seorang gadis dewasa dan sebagai seorang abidah banyak pemuda yang tertarik dan ingin melamarnya, tetapi ia tolak semua. Ia mengambil keputusan ini akrena menurutnya dengna tidak menikah itulah ia dapat melakukan pencarian tanpa hambatan, diantara mereka yang melamarnya adalah : Pertama, Abdul Wahid bin Zayid, yang terkenal dengan kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang teolog, ulama dan hidup dalam pengasingan guna mencari jalan Allah. Kedua, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang abbasiyah dari basrah, ia mengajukan mahar perkawinan sebesar seratus ribu dinar. Ketiga, Hasan al-Bashri sahabat karibnya sesama sufi, para sahabatnya banyak mendesak agar ia menikah dengan sesama sufi. Atas desakan kuat ini, Rabi’ah mau menerima asal sahabatnya bisa menjawab pertanyaan dirinya. Hasan al-Bashri berkata : “Bertanyalah, dan jika Allah mengijinkan, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Pertama, “apakah yang akan dikatakan oleh hakim dunia ini saat kematianku nanti; akankah aku mati dalam Islam atau murtad”. Hasan al-Bashri menjawab :”Hanya Allah yang Maha Mengetahui dan dapat menjawab”. Kedua, “pada waktu aku dalam kubur nanti, disaat malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku dapatkah aku menjawabnya?” Hasan al-Bashri menjawab, “Hanya Allah yang tahu”. Ketiga, “pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan nanti, semua akan menerima buku ditangan kanan dan di tangan kiri, bagaimana denganku, akankah aku menerima ditangan kanan atau ditangan kiri?”. Hasan al-Bashri menjawab , “Hanya Allah yang tahu” Keempat, Pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia masuk surga (Jannah) dan sebagian lain akan masuk neraka. Dikelompok manakah aku akan berada?”. Hasan menjawab, “Hanya Allah yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu”.
Selanjutnya Rabi’ah mengatakan kepada Hasan, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaimana aku harus bersuami yang kepadanya aku harus menghabiskan waktu dengannya”. Itulah penolakan-penolakan Rabi’ah terhadap orang-orang yang ingin memperistrinya, hingga akhirnya ia tidak menikah hingga akhir hayatnya.
Sejak ia berumur tiga puluh tahun, ia mengajarkan tentang tasawuf dan meninggalkan kehidupan duniawi dan hanya memusatkan perhatiannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, ia memandang kehidupan duniawi hanyalah permainan yang meniupu orang memandangnya, maka jalan satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah juhud kepada duniawi”.
Menurut Syarqawi, juhud dibagi menjadi tiga tingkat: (1) meninggalkan perkara adalah juhudnya orang awam, (2) memalingkan kelebihan dari yang halal adalah juhudnya orang hawas, (3) meninggalkan kesibukan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah adalah zahidnya para arifin. Adapun zahidnya Rabi’ah al-Adawiyah terhadap kesenangan dunia adalah meninggalkan kecintaan terhadap laki-laki dengan penuh kesadaran.
Kejadian Rabi’ah al-Adawiyah tergambar dalam kesederhanaan hidupnya menyendiri dalam kehidupan duniawi, menghilangkan rasa cinta kepada dunia dan seisinya, untuk nikmat yang sangat besar.
Juhud yang ditempuh Rabi’ah al-Adawiyah sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena kesenangan dan kemewahan dunia akan menimbulkan hawa nafsu yang bisa mengganggu dan memalingkan dari mengingat Allah.

C. Al-Mahabbah
Mahabbah ( المحبه ) adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada Mahabbah antara lain adalah sebagai berikut :
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi
Menurut al-Sarraj, Mahabbah mempunyai tiga tingkat :
1. Cinta biasa yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan, senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta orang Siddiq ( الصدق ) yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya pada kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang merusakkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan.
3. Cinta yang arif ( العارف ) yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul diri yang dicintai, dilihat dan dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang dicintai.
Rabi’ah dipandang sebagai pelapor tasawuf Mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau penuh harap akan pahala dan surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan-Nya yang azali (wujud abadi tanpa awal). Mahabbah sebagai martabat untuk mencapai tingkat Makrifat (ilmu yang dalam untuk mencari dan mencapai kebenaran dan hakikat) diperoleh Rabi’ah setelah melalui martabat-martabat kesufian, dari tingkat ibadah dan zuhud (tapa) ke tingkat ridlo (rahmat) dan ihsan (kebajikan), sehingga cintanya hanya kepada Allah.

Luapan cinta itu sebagaimana terucap dalam syair-syairnya :
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka dan bukan pula ingin masuk surga, tetapi mengabdi karena cintaku pada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, bakarlah aku didalamnya, dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkan aku daripadanya, tetapi jika kupuja Engkau semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dariku”.
“Aku mencintaimu dengan dua cinta; cinta karena diriku dan cinta karena diriMu, cinta karena diriku adalah keadaanku yang selalu mengungkapkan tabir, sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pujianku bukanlah bagiku, bagi-Mu lah semua pujian itu. Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehariban-Mu. Engkau harapanku, kebahagiaanku, dan kesenanganku, hatiku enggan mencintai selain Engkau”.

Bagi Rabi’ah, dorongan Mahabbah kepada Allah berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah untuk dipuja dan dicintai. Mahabbah disini bertujuan untuk melihat keindahan Allah SWT. Puncak pertemuan Mahabbah antara hamba dan cinta kepada Allah-lah yang menjadi akhir keinginannya.

D. Kesimpulan
Konsepsi Mahabbah Rabi’ah al-Adawiyah merupakan tasawuf yang masih asing dikalangan sufi semasanya, oleh karena belum adanya seorang sufi yang memperkenalkan sebelumnya, jadi beliau adalah peletak dasar dari ajaran tasawuf Mahabbah ini.











DAFTAR PUSTAKA


Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
Mahmud Sarqawi, Rabi’ah al-Adawiyah, Cairo : Dar al-Syu’ub, 1971.
Margareth Smith,Rabi’ah the Mystic and Her Fellow, Saints In Islam, London : Cambridge University Press, 1928.
























PEMIKIRAN MISTISME : RABI’AH AL-ADAWIYAH



MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Terstruktur
Pada Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Mata Kuliah
Dosen : Prof. Dr. H. Imron Abdullah, M.Ag
Dr. H. Ahmad Asmuni, MA











Oleh:
DEDING SUDARSO
Nim : 505630016

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009